Selasa, 21 Juni 2016



SISTEM PERWAKIAN POLITIK
NEGARA BELANDA

 





Disusun Oleh:
Nama Kelompok :
Alwi Dahlan Ritonga                        130906001
Ade Ramlan Rambe                          130906002
Andri Prasetyo                                  130906006
Novi Ardilla Simamora                     1309060
Dedy Syahputra                                130906017
Abdul Saikum Pulungan                             130906027
Raan Harry Pashi                                       1309060

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara
Tahun Ajaran 2014/2015

DAFTAR ISI


Kata Pengantar ……………………………………….   i
Daftar isi ……………………………………………..    ii
Bab I
Pendahuluan  ………………………………………………………...... 1   
A.   Latar Belakang ………………………………............................. 1
B.   Rumusan Masalah ……………………………………………… 2
Bab II
Pembahasan …………………………………………………………… 3
A.   Islam Liberal …………………………......................................... 3
B.     Bagaimana paham Islam Liberal bisa meluas ke tanah air……… 4
C.   Tokoh-tokoh Jaringan Islam Liberal ……………………………. 7
D.   Pemikiran Jaringan Liberal……………………………………… 8
E.    Perbandingan Antara Islam dan Liberal………………………… 11
Bab III
Penutup  ……………………………………………………………….. 12
A.   Kesimpulan ……………………………………………………... 12
B.   Saran ……………………………………………………………. 13
C.   Daftar Pustaka…………………………………………………… 14






BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    LATAR BELAKANG

Dalam kehidupan beragama banyak sekali pemikiran yang dikembangkan oleh para cendikiawan, termasuk di dalamnya agama islam. Dilihat dari kenyataan historis, wacana pemikiran islam selalu berkembang dari waktu ke waktu, sejak zaman Rasulullah saw. Sampai sekarang. Kehidupan beragama tidak terlepas dari kehidupan sosial dimana agama itu berkembang, dimana diperlukan berbagai pemikiran agar dapat mengaktualisasikan nilai-nilai keislaman.
Indonesia sebagai negara yang sebagian besar penduduknya adalah umat islam tidak lepas dari perkembangan pemikiran dari awal mula tersebarnya islam di bumi pertiwi sampai indonesia merdeka. Awal mula islam berkembang di indonesia berlawanan dengan kepercayaan masyarakaat, sehingga diperlukan strategi untuk menyebarkan islam di bumi indonesia. Salah satunya adalah menggabungkan kebudayaan dan nilai-nilai substansi keislaman. Strategi ini dapat diterima oleh masyarakat indonesia, mereka sedikit demi sedikit meniggalkan agama nenek moyang beralih ke agama yang rahmatal lil’alamin (islam). Pada sekarang ini, disaat indonesia telah merdeka dan kondisi masyarakat telah berkembang pesat seiring dengan perkembangan teknologi, tentunya banyak permasalahan yang baru yang muncul di permukaan yang belum ada penjelasan yang jelas pada masa nabi saw. dengan keadaan yang semacam itu menuntut para intelektual muslim untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran islam.
Perjalanan pemikiran Islam itu juga dipengaruhi oleh naik turunnya kekuasaan pada abad ke-15. Pada abad itu terjadi kemerosotan pemikiran Islam serta ditandai oleh kejumudan berpikir, sehingga kekuasaan para penjajah menjadi kuat di hampir semua negara Islam yang terjajah. Di samping itu, para penjajah ini juga membawa konsepsi pemikiran yang sengaja dikembangkan untuk menyingkirkan atau paling tidak mendistorsi pemikiran Islam. Karena itu, terjadi penurunan pemikiran di antara umat Islam sendiri. Ada yang ingin mempertahankan nilai-nilai Islam dalam kehidupan mereka. Kelompok ini disebut oleh para orientalis sebagai kelompok konservatif. Sedangkan anti tesa dari kelompok ini adalah kelompok yang menginginkan perubahan dalam pemikiran Islam sehingga ditarik sedemikian rupa agar sesuai dengan pemikiran modern yang nota bene adalah model Barat. Kelompok kedua inilah disebut dengan kelompok yang berpandangan liberal (Islam Liberal).

Islam liberal merupakan salah satu gerakan yang muncul di masa modern sekarang ini, dimana perkembangan masalah-masalah yang diberbagai bidang menerpa umat islam. Perkembangan pemikiran islam di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan pemikiran islam di daerah negara lain. Gerakan Islam liberal, sebagaimana ditulis oleh tokohnya bertujuan untuk membebaskan (liberating) umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kejumudan.
Islam dan liberal adalah dua istilah yang atagonis, saling berhadap-hadapan tidak mungkin Islam bias bertemu, namun demikian ada sekelompok orang di Indonesia yang rela menamakan dirinya dengan jaringan Islam Liberal (JIL). Suatu penamaan yang: pas dengan orang-orangnya atu pikiran-pikiran dan agendanya. Islam adalah pengakuan bahwa apa yang mereka suarakan adalah haq, tetapi pada hakekatnya suara mereka itu batil karena liberal tidak sesuai dengan Islam.Jaringan islam liberal berdiri di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari gerakan-gerakan keagamaan yang ada pada masa kekuasaan orde baru, ketika umat islam merasa ditekan dan dipinggirkan oleh pemerintahan pada masa itu.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah Islam Liberal itu?
2.      Bagaiaman paham Islam Liberal bisa meluas ke tanah air?
3.      Tokoh- tokoh  jaringan Islam Liberal?
4.      Pemikiran jaringan Islam Liberal?
5.      Perbandingan antara Islam dan Liberalisme?








BAB II
PEMBAHASAAN
A.    Islam Liberal
Islam adalah Agama (Ad Din) yang diturunkan oleh Allah swt, sang Pencipta, kepada utusan terakhirNya Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Agama ini berisikan seluruh ajaran dan panduan hidup manusia di dunia. Panduan ini bersifat lengkap untuk kesejahteraan seluruh manusia. Panduan bagaimana manusia berhubungan dengan Penciptanya, yaitu Allah swt. Panduan, bagaimana manusia harus berhubungan dengan manusia lainnya, serta panduan bagaimana manusia berhubungan dengan dirinya sendiri.
Seluruh panduan dalam Islam berasal dari Allah swt, yang mutlak kebenarannya. Berisi perintah dan anjuran, begitu pula larangan dan cegahan, serta pilihan yang diserahkan kepada manusia untuk bebas memilihnya.
Secara garis besar, Islam berisikan tentang Aqidah dan Syariat. Aqidah merupakan panduan berupa keyakinan-keyakinan yang harus diimani oleh manusia. Sedangkan Syariat adalah panduan hukum yang berkenaan dengan perbuatan manusia.

Islam tidak melarang manusia untuk berfikir dan mengembangkan potensi dirinya, tetapi bukan untuk memikirkan hal-hal yang benar-benar telah pasti kebenarannya (kalam Allah) serta mengubah syariat di dalamnya untuk disesuaikan dengan kebebasan akal yang lemah. Hingga mungkin segelintir orang yang menamakn dengan Islam Liberal, banyak yang terpelosok dan beranggapan bahwa “Semua agama adalah sama, karena sama-sama menyembah pada Zat Yang Maha Satu, yaitu Tuhan”. Juga ada banyak pandangan-pandangan lain yang bertentangan dengan akidah Islam yang haq.

Sedangkan liberalisme ialah falsafah yang meletakkan kebebasan individu sebagai nilai politik tertinggi. Seseorang yang menerima faham liberalisme dipanggil seorang liberal. Walau bagaimanapun, maksud perkataan liberal mungkin berubah mengikuti konteks sesuai negara tertentu.Perkataan liberal berasal dari pada perkataan Latin liber yang bermaksud bebas atau bukan hamba. sedang dalam kamus "oxford Basic english Dictionary" liberal:a person who is liberal lets other people do and think what they want (seseorang yang liberal memberi kebebasan kepada orang lain untuk berbuat dan berfikir sesuai dengan keinginan mereka).

Syaikh Sulaiman al-Khirasyi menyebutkan, liberalisme adalah madzhab pemikiran yang memperhatikan kebebasan individu. Madzhab ini memandang, wajibnya menghormati kemerdekaan individu, serta berkeyakinan bahwa tugas pokok pemerintah ialah menjaga dan melindungi kebebasan rakyat, seperti kebebasan berfikir, kebebasan menyampaikan pendapat, kebebasan kepemilikan pribadi, kebebasan individu, dan sejenisnya.

Tujuan di Dirikannya :
            suatu keniscayaan bahwa didirikanya suatu kelompok pasti memiliki misi dan tujuan yang ingin di capai oleh suatu kelompok tersebut. Begitu juga Kelompok/ Jaringan Islam Liberal, yang mempunya pemahan kebebasan tanpa batas mempunyai tujuan dan misi –misi tertentu dibalik kebebasan tanpa batas yang mereka anut tersebut.
Dan kalau kita lihat dalam tulisan- tulisan mereka akan kita temukan diantara misi dan tujuan mereka adalah seperti berikut ini:
            Salah satu tujuan utama Islam Liberal adalah menyebarkan gagasan Islam Liberal seluas-luasnya kepada masyarakat. Untuk itu mereka memilih bentuk jaringan, bukan organisasi kemasyarakatan, maupun partai politik. JIL adalah wadah yang longgar untuk siapapun yang memiliki aspirasi dan kepedulian terhadap gagasan Islam Liberal. Dan di antara misi- misinya:
·         Pertama, mengembangkan penafsiran Islam yang liberal sesuai dengan prinsip-prinsip yang mereka anut, serta menyebarkannya kepada seluas mungkin khalayak.
·         Kedua, mengusahakan terbukanya ruang dialog yang bebas dari tekanan prinsip mereka. mereka meyakini, terbukanya ruang dialog akan memekarkan pemikiran dan gerakan Islam yang sehat.
·         Ketiga, mengupayakan terciptanya struktur sosial dan politik yang adil dan manusiawi.

B.     Bagaimana paham Islam Liberal bisa meluas ke tanah air
KH. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnya, pembaharuan Islam dimulai. Gagasan pembaharuan Kyai Dahlan sendiri merupakan pengaruh dari tokoh-tokoh Mesir. Ketika pendiri Muhammadiyah itu melakukan perjalanan ke Mekah untuk belajar di sana, di tengah perjalanan ia membaca karya ‘Abduh dan Ridla, Tafsir al-Manar. Sepulangnya dari menimba ilmu itu, rupanya Tafsir al-Manar telah menginspirasi KH. Ahmad Dahlan untuk melakukan pembaharuan Islam di Indonesia. Selain karena pengaruh Mesir, penetrasi misi Katholik-Protestan dari penjajah (Spanyol, Portugis, dan Belanda) dan parktik takhayul, khurafat serta bid’ah di masyarakat Indonesia telah membuat KH. Ahmad Dahlan prihatin sekaligus protes keras. Faktor-faktor inilah yang mendorong pembaharuan Islam oleh Kyai. Dahlan bersama Muhammadiyahnya.
            Kendati begitu, dalam pandangan Harun, pembaharuan yang disuarakan Muhammadiyah bukanlah pembaharuan yang prinsipil dan menyangkut hal-hal dasar (ushul), tapi pada masalah cabang (furu’). Misalnya, soal ru’yah al-Hilal, patung, gambar, musik, kenduri, tahlilan, dan lain-lainnya. Pembaharuan demikian berbeda dengan yang terjadi di Mesir dan Turki. Sebagai orang yang pernah belajar di Mesir dan di Barat, justru Harun sendirilah yang dikenal sebagai lokomotif liberalisme di Indonesia melalui lembaga pendidikan tinggi. Setelah pulang dari Mesir, ia kemudian bekerja di Institut Agama Islam Negeri (IAIN), sekitar 1969. Ketika pemerintah, dalam hal ini Menteri Agama (Menag) A.Mukti ‘Ali menunjuk dia sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, program liberalisasi pemikiran Islam segera ditabuh dan digulirkan. (Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, 2006)

Untuk merealisasikan liberalisme, Harun mempromosikan dan mensosialisasikan paham Mu’tazilah. IAIN Jakarta di bawah komandonya mewajibakan para mahasiswa membaca buku-buku karyanya, antara lain, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Teologi Islam, Filsafat Agama.

Belasan tahun kemudian, bukunya yang berjudul Islam Rasional juga menjadi bacaan dan referensi ”wajib” di kalangan dosen dan mahasiswa IAIN. Kewajiban memakai buku-buku karya Harun itu berlangsung sampai kini di semua jurusan atau program studi, kendati nama IAIN sudah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN).
Maka di tangan Harun-lah UIN/IAIN/STAIN berhasil di-Mu’tazilah-kan. Tentunya keberhasilan Harun menggeser dan mengubah model pemikiran di lingkungan IAIN ketika itu tak lepas dari dukungan politik dari pemerintah Orde Baru.
Harun memang dikenal gigih dan serius berkiprah di pendidikan tinggi. Ia punya dedikasi tinggi untuk mengawal dan membesarkan IAIN sebagaimana yang ia harapkan seperti lahirnya para pemikir liberal sekular di Mesir.
Menurut mantan muridnya di program Pascasarjana IAIN, Dr. Ahmad Dardiri, Harun sangat perhatian dengan mahasiswanya dalam berbagai hal. “Bimbingan tesis ataupun disertasi betul-betul ia tangani dengan serius. Pak Harun betul-betul serius untuk berkiprah di dunia pendidikan. Ini berbeda dengan Cak Nur yang kadang kurang serius dengan bimbingan tesis atau disertasi mahasiswa. Waktunya tersita dengan kegiatan di luar IAIN, ” ujarnya.
Setelah berjalan selama hampir 40 tahun, usaha Harun menemukan hasilnya. Hampir seluruh UIN/ IAIN/ STAIN di seluruh Indonesia kini telah menjadi gerbong terbesar proyek liberalisasi pendidikan dan studi Islam. Bila di masa Harun, liberalisasi lebih ditekankan pada studi teologi/ilmu Kalam, maka saat ini fokusnya adalah pada studi Al-Qur’an.
Hal ini dianggap strategis karena studi Al-Qur’an merupakan mata kuliah umum wajib yang harus diambil seluruh mahasiswa. Tentunya juga, liberalisasi Islam akan mudah berjalan dan kena sasaran bila leberalisasi Studi Al-Qur’an diperkuat dan dikurikulumkan.
Proyek liberalisasi Studi Al-Qur’an ini semakin gencar dan serius dengan dimasukanya mata kuliah Hermeneutika dan Semiotika di Program Studi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Demikian pula mata kuliah Kajian Orientalis terhadap Al-Qur’an dan Hadits.
Referensi dan sumber dua mata kuliah ini adalah para pengibar liberalisme Studi Al-Qur’an, baik dari kalangan Muslim maupun Kristen. Misalnya, Muhammad Arkoun, Norman Calder, Farid Essack, Hans G. Gadamer, dan lain-lain. Tujuan pengajaran mata kuliah Hermeneutika dan Semiotika adalah “Mahasiswa dapat menjelaskan dan menerapkan ilmu Hermeneutika dan Semiotika terhadap kajian al-Qur’an dan Hadis.” Sedangkan untuk Kajian Orientalis bertujuan, ” Mahasiswa dapat menjelaskan dan menerapkan kajian orientalis terhadap al-Qur’an dan Hadits.”
Atas pengajaran mata kuliah Hermeneutika ini, entah karena tak paham tentang bahaya penerapan hermeneutika dalam studi Al-Qur’an atau karena alasan lain, seorang dosen ilmu Hadis di Prodi Tafsir Hadis UIN Jakarta juga mengaku tak ada persoalan dengan hal itu. “Tidak apa-apa. Itu bagus-bagus saja, ” katanya.
Pengajaran Studi Al-Qur’an dengan metode Barat itu, kini telah melahirkan banyak mahasiswa/i dan sarjana UIN/IAIN/STAIN yang meragukan, menghujat, bahkan melecehkan Al-Qur’an. Laporan majalah pekanan GATRA edisi 7 Juni 2006, menyebutkan, seorang dosen IAIN Surabaya di depan para mahasiswanya membuat adegan menginjak-injak lafaz Allah dengan kakinya tanpa merasa berdosa. Ini adalah sebuah tindakan yang tak beradab dan tak terpuji. Padahal dia adalah pengampu mata kuliah Sejarah Peradaban Islam.

C.    Tokoh- tokoh  jaringan Islam Liberal
 Para tokoh pembela panji-panji liberal bukan hanya menentang fatwa MUI tentang haramnya paham liberal dan pluralisme agama. namun, tak jarang mereka juga “mengobrak abrik” umat dengan berbagai statementnya yang menabrak nash-nash sharih dan Al Qur’an, Sunnah Shahihah, dan Ijma Ulama. Tentu, ini sangat  menyakiti hati setiap insan beriman  yang mencintai agamanya.
Ibarat berada dalam satu sekolah yang sama, tidak mungkin semua siswanya mempunyai tingkat kecerdasan yang sama atau memiliki  kesamaan dalam segala hal. Mereka juga tidak mungkin berada dalam di satu kelas yang sama. Begitulah dengan liberalisme ini. Mereka pun berbeda-beda tingkatannya, beda usianya, beda masanya, dan berbeda semangatnya. Meski tentu saja ada kesamaannya, sama-sama liberal. Diantara mereka ada yanag memang tergabung dalam Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dimotori Ulii Absar Abdallah. Dan ada yang di luar JIL: ada yang  di NU, di Muhammadiyah, di Kampus, di luar Kampus, di Jawa, di luar Jawa, dan sebagainya. Adapun menurut klasifikasi Budi Hadrianto ada 50 Tokoh Islam Liberal di Indonesia, diantaranya sebagi berikut :
Para pelopor :             Abdul Mukti Ali, Abdurrahmana Wahid, Ahmad Wahib, Djohan Effendi,  Harun Nasution, M. Dawam Raharjo, Munawir Sjadzali, Nurchalis Madjid,
Para Senior :              Abdul Munir Mulkhan, Ahmad Syafi’i Ma’arif, Alwi Abdurrahman Shihab, Azyumardi Azra, Goenawan Mohammad, Jalaludin Rahmat, Kautsar Azhari Noer, Komarudin Hidayat, M. Amin Abdullah, M. Syafi’i Anwar, Masdar Farid Mas’udi, Moeslim Abdurrahman, Nasarudin Umar, Said Aqiel Siradj, Zainul Kamal.
Para Perintis :             Abd A’la,  Abdul Moqsith Ghazali, Ahmad Fuad Fanani, Ahmad Gauss AF, Ahmad Sahal, Bahtiar Effendy, Budhy Munawar Rahman, Denny J.A, Fathimah Usman, Hamid Basyaib, Husain Muhammad, Ihsan Ali Fauzi, M. Jadul Maula, M. Luthfi Asy-Syaukani, Muhammad Ali, Mun’im A. Sirry, Nong Darol Mahmada, Rizal Malarangerng, Saiful  Mujani, Siti Musdah Mulia, Sukidi, Sumanto Al Qurthuby, Syamsu Rizal Panggabean, Taufik Adnan Amal, Ulil Absar Abdalla, Zuhairi Misrawi, Zuly Qodir.

D.    Pemikiran jaringan Islam Liberal
·         Asas Pertama Kebebasan :  ialah setiap individu bebas melakukan perbuatan. Negara tak memiliki hak mengatur. Perbuatan itu hanya dibatasi oleh undang-undang yang dibuat sendiri, dan tidak terikat dengan aturan agama. Dengan demikian, liberalisme merupakan sisi lain dari sekulerisme, yaitu memisahkan dari agama dan membolehkan lepas dari ketentuan agama. Sehingga asas ini memberikan kebebasan kepada manusia untuk berbuat, berkata, berkeyakinan, dan berhukum sesukanya tanpa dibatasi oleh syari’at Allah. Manusia menjadi tuhan untuk dirinya dan penyembah hawa nafsunya. Manusia terbebas dari hukum, dan tidak diperintahkan mengikuti ajaran Ilahi. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. [al-An’âm/6:162-163]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِّنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ

Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. [al-Jâtsiyah/45:18].[4]

·         Asas Kedua, Individualisme (al-fardiyah) : Dalam hal ini meliputi dua pengertian.
Pertama, dalam pengertian ananiyah (keakuan) dan cinta diri sendiri. Pengertian inilah yang menguasai pemikiran masyarakat Eropa sejak masa kebangkitannya hingga abad ke-20 Masehi. Kedua, dalam pengertian kemerdekaan pribadi. Ini merupakan pemahaman baru dalam agama Liberal yang dikenal dengan pragmatisme.

·         Asas ketiga, yaitu rasionalisme (aqlaniyyun, mendewakan akal). Dalam artian akal bebas dalam mengetahui dan mencapai kemaslahatan dan kemanfaatan tanpa butuh kepada kekuatan diluarnya.

AL-QUR’AN ADALAH TEKS
Menurut Kaum Liberal bahwa Al-Qur’an adalah dokumen tertulis (manuskrip) yang diwariskan Muhammad kepada umatnya, sehingga Al-Qur’an hanya merupakan “Teks” yang bisa dan harus diteliti otentisitasnya melalui penerapan metode-metode Fisologi. Bagi umat Islam, Al-Qur’an pada mulanya bukanlah “Teks” atau “Tulisan” tetapi merupakan “Bacaan” yang dihafal dan diwariskan dari generasi ke generasi secara mutawatir. Proses pewahyuan, penyampaian, pengajaran dan periwayatan Al-Qur’an pada mulanya melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan. Sedang penulisan Al-Qur’an hanya sebagai penunjang, itu pun pada mulanya “Tulisan” Al-Qur’an hanya bersandar kepada “Hafalan Bacaan”, bukan sebaliknya.
Otentisitas Al-Qur’an sebagai wahyu Allah SWT tidak diragukan sedikit pun. Walau pun penghimpunan penulisan Al-Qur’an secara utuh baru dilakukan di zaman Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq RA, lalu disempurnakan zaman Sayyidina Utsman ibnu ‘Affan RA, kemudian makin disempurnakan di zaman-zaman berikutnya hinga di era penerbitan dan percetakan laser sekarang ini, tapi tenggang waktu antara awal penurunan wahyu kepada Rasulullah SAW hingga penghimpunan penulisan wahyu tersebut tidak ada sedikit pun jeda kekosongan penyampaian, pengajaran dan periwayatannya dari generasi ke generasi secara mutawatir, sehingga otentisitas Al-Qur’an sebagai wahyu tetap terjaga dan terpelihara.
Berbeda dengan Bibel misalnya, yang penghimpunan penulisannya dilaksanakan setelah ratusan tahun dari zaman Nabi ‘Isa AS, dan sejak awal pewahyuan Injil kepada Nabi ‘Isa AS hingga zaman penghimpunan penulisan telah terjadi jeda kekosongan penyampaian, pengajaran dan periwayatannya dari generasi ke generasi. Sehingga penghimpunan penulisan Bibel hanya bersandar kepada “manuskrip” yang tertulis dalam bentuk papirus, skroll, dan sebagainya. Itulah sebabnya, penelitian manuskrip Bibel menjadi keniscayaan untuk membuktikan keasliannya. Itu pula sebabnya, kenapa para Orientalis tidak ada pilihan lain kecuali harus mengkritisi Bibel melalui Metodologi Hermeneutika untuk meneliti keasliannya.
AL-QUR’AN PRODUK BUDAYA
Kaum Liberal menyatakan bahwasanya sejak awal Al-Qur’an diturunkan kepada Muhammad hingga wafatnya, selama lebih kurang 23 tahun, Al-Qur’an telah berinteraksi dengan merespon dan mengakomodir realitas dan budaya masyarakat Arab, sehingga Al-Qur’ an tidak bisa melepaskan diri dari kungkungan realitas dan budaya yang ada di masa itu. Karenanya, Al-Qur’an adalah “Teks” yang dilahirkan oleh realita dan diproduksi oleh budaya. Inilah bentuk lain “onani pemikiran” hasil khayalan kaum Liberal.
Andaikata Al-Qur’an produk budaya karena terbentuk dalam realitas dan budaya, maka semestinya Al-Qur’an menghalalkan apa yang dihalalkan masyarakat Arab Jahiliyyah tempat dimana Al-Qur’an diturunkan, seperti : kemusyrikan, perjudian, khamar, riba dan wa’dul Banaat (mengubur hidup-hidup anak perempuan). Namun kenyataannya, Al-Qur’an menentang dan mengharamkan itu semua. Justru masyarakat Arab Jahiliyyah memandang Al-Qur’an saat diturunkan sebagai sesuatu yang aneh dan asing, karena bertentangan dengan realita dan budaya mereka. Bahkan mereka menuduh Rasulullah SAW sebagai orang gila yang ingin melawan realita dan budaya yang sudah berurat berakar di tengah masyarakat Arab selama berabad-abad.
Jadi, Al-Qur’an bukan produk budaya Jahiliyyah atau produk budaya apa pun, karena Al-Qur’an bukan kesinambungan dari budaya mana pun ketika itu. Justru Al-Qur’an memproduk budaya baru yang mengharamkan segala bentuk kemusyrikan, kesesatan, kezaliman, kema’siatan dan kemunkaran. Al-Qur’an melahirkan budaya baru yang berakhlaqul karimah, terhormat dan bermartabat. Kesimpulannya, bukan Budaya yang jadi sumber Al-Qur’an, tapi sebaliknya justru Al-Qur’an yang jadi sumber budaya agung dan luhur.
AL-QUR’AN PRODUK BAHASA
Kaum Liberal berkhayal bahwa Tuhan punya bahasa tersendiri yang tidak dipahami manusia, sedang bahasa Arab adalah bahasa manusia bukan bahasa Tuhan. Lucunya, kaum Liberal sendiri tidak pernah tahu bahasa apa dan bagaimana yang mereka maksud dengan bahasa Tuhan. Lalu dari onani khayalan tersebut, kaum Liberal menyatakan bahwa Allah menurunkan Al-Qur’an dengan bahasa Tuhan yang tidak dipahami manusia, lalu Muhammad menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab agar dipahami oleh manusia.
Karenanya, kaum Liberal meyakini adanya intervensi bahasa manusia dalam pembentukan Al-Qur’an, apalagi penulisan Al-Qur’an dalam bentuk “Rasm Utsmani” memungkinkan dibaca dengan beberapa bacaan (qiraat), sehingga Al-Qur’an menjadi “Teks Bahasa” yang tunduk kepada kaidah dan karakteristik bahasa tersebut, baik lisan mau pun tulisan.
Dalam aqidah umat Islam bahwasanya Allah SWT Maha Berkehendak, dan dengan bahasa mau pun tanpa bahasa, kehendak Allah SWT pasti berlaku. Allah SWT tidak membutuhkan bahasa, karena bahasa adalah makhluq ciptaan-Nya dan Allah SWT tidak bergantung kepada makhluq ciptaan-Nya. Allah SWT telah berkehendak menurunkan Al-Qur’an dalam bahasa Arab untuk menyampaikan aturan-Nya kepada umat manusia agar dipatuhi dan ditaati. Dan Al-Qur’an sejak awal diturunkan kepada Rasulullah SAW sudah berbahasa Arab sesuai dengan kehendak Allah SWT yang berada di atas segala kehendak, sehingga tidak ada intervensi bahasa manusia mana pun terhadap Al-Qur’an sebagaimana dikhayalkan kaum Liberal.
AL-QUR’AN PRODUK SEJARAH
Kaum Liberal menilai bahwasanya Al-Qur’an yang diturunkan pada abad ke-7 Miladi, terikat kuat dengan realitas, budaya dan bahasa yang merupakan bagian daripada “Fenomena Historis” masa itu, sehingga Al-Qur’an hanya merupakan produk sejarah yang merekam situasi adat budaya masyarakat Arab di abad tersebut. Karenanya, ke depan Al-Qur’an perlu mengadaptasi dengan perkembangan sejarah selanjutnya. Fakta membuktikan bahwasanya Al-Qur’an tidak terikat dan tidak dipengaruhi “Fenomena Historis” daripada realitas, budaya dan bahasa masyarakat Arab abad ke-7 Miladi. Buktinya, Al-Qur’an bukan hanya merekam sejarah di masa turunnya, tapi juga sejarah masa lalu di luar wilayah turunnya, bahkan masa akan datang yang jauh dari jangkauan realitas, budaya dan bahasa masyarakat Arab Jahiliyyah. Ratusan ayat Al-Qur’an mengisyaratkan secara menakjubkan berbagai informasi pengetahuan ilmiah yang faktanya baru terungkap di abad modern, seperti yang terkait Astronomi, Geologi, Biologi dan Embriologi. Jadi, Al-Qur’an bukan produk sejarah, bahkan bersifat Transhistoris yaitu melampaui historisitasnya sendiri.
E.     Perbandingan antara Islam dan Liberalisme     
·         Aqidah
Liberalisme beraqidah sekular, sedangkan Islam tidak beraqidah sekular
·          Sistem kehidupan yang terpancar darinya:
Islam menuntun kehidupan dengan sistem-sistem yang lahir dari Agama Islam itu sendiri. Aturan Islam datang dari Allah swt. Liberalisme melahirkan aturan-aturan yang tidak berlandaskan agama sama sekali.
·          Tentang kebebasan beragama:
Islam mengajarkan bahwa agama di sisi Allah hanyalah Islam. Liberalisme mengajarkan bahwa agama tidak perlu dipersoalkan. Agama adalah urusan individu. Setiap Individu bebas memilih agama apapun.
·         Tentang kebebasan berpendapat:
Tidak ada kebebasan berpendapat dalam Islam, kecuali dalam hal-hal yang mubah. Oleh karena itu Musyawarah dalam Islam hanya dalam persoalan mubah. Hal ini berbeda sama sekali dengan Liberalisme. Liberalisme membebaskan berpendapat apa saja dalam seluruh persoalan, karena setiap individu dijamin bebas berpendapat.
·         Tentang kebebasan berperilaku
Syari’at Islam mengikat setiap perbuatan manusia. Setiap perbuatan manusia harus terikat dengan hukum Syari’at. Hal ini beda sama sekali dengan Liberalisme, dimana ia membebaskan setiap Individu untuk berbuat apa saja asalkan tidak merugikan hak individu lain.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari paparan ide dasar baik Islam maupun Liberalisme tersebut di atas, jelas sekali bahwa antara Islam dan Liberalisme, tidak ada kaitannya sama sekali, dan tidak perlu dikait-kaitkan. Mengaitkan dua hal yang bertentangan adalah tindakan yang bodoh. Apalagi hasil kaitan yang di reka-reka tersebut disebar luaskan untuk bisa diikuti umat. Jelas ini merupakan aktivitas yang membodohi umat. Perlu diwaspadai gerakan-gerakan yang mengatasnamakan Islam, pembaharuan Islam, akan tetapi sesungguhnya adalah penghancuran terhadap Islam dari dalam.
Jika kita telusuri lebih jauh maka kita akan temukan banyak sekali pandanagan yang memang sangatlah bertentangan dengan Islam. Para tokoh Islam Liberal pun berusaha keras untuk mengoyahkan Iman Umat Islam, karena memang itulah tujuan orang-orang kafir sejak zaman dahulu.
Islam memang tak melarang manusia untuk berpikir, namun pikirkanlah apa yang bermanfaat, bukan untuk memikirkan hal yang dapat menentang keAbsolutan yang haq, baik itu zat Allah, Al-Qur’an, kenabian, syariat, sunnah, dan begitu banyak pemikiran mereka yang menentang apa yang telah nyata kebenarannya.
Jaringan Islam Liberal merupakan gerakan para intelektual islam yang menginginkan adanya reinpretasi dalam agama, mereka terpengaruh dengan dunia barat, tempat dimana mereka mengembangkan ilmu. Adanya isu-isu yang diangkat oleh jaringan ini bertujuan untuk membumikan Al-Qur’an. Namun pemikiran yang bertujuan baik akan menimbulkan hal yang negatif jika pemikiran tersebut sampai menimbulkan kerancuan dalam berpikir.
Berfikir adalah salah satu anjuran dalam islam, karena dia adalah pintu gerbang pengetahuan, dan salah satu wasilah seorang hamba untuk mengetahui bukti-bukti akan adanya Sang Maha Pencipta lagi Maha Perkasa, yang menjadikan hambanya semakin bertambah keimanan dan ketaqwaannya. Namun berfikir pula dapat menjadikan seorang hambanya tersesat dari jalanNya,
Allah SWT berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil sebagai wali' (pemimpin, teman kepercayaan, panutan) orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan."(Al-Mâidah:57)


B.     Saran
-          Bidang Dakwah
Dakwah Islamiah salafiyyah adalah penawar dari segala racun, obat dari segala penyakit dan senjata ampuh untuk melawan segala musuh agar manusia takluk dan tunduk dengan dakwah yang disampaikannya
-          Bidang hukum
Menindak para penebar virus liberal yang merusak bangsa dan agama itu ke pengadilan (jika memang ada pengadilan dan keadilan), untuk menerima hukuman




DAFTAR PUSTAKA

Legenhausen, Muhammad. 2002. Satu Agama atau Banyak Agama. Jakarta: Lentera.
Qodir, Zuly. 2003. Islam Liberal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sjafril, Akmal. 2000. Islam Liberal 101. Jakarta: Afnan Publishing.

Taufiq, Ahmad.2005. Perkembangan Islam Liberal. Jakarta : Gramedia.