SISTEM
PERWAKIAN POLITIK
NEGARA
BELANDA
Disusun
Oleh:
Nama
Kelompok :
Alwi
Dahlan Ritonga 130906001
Ade
Ramlan Rambe 130906002
Andri
Prasetyo 130906006
Novi
Ardilla Simamora 1309060
Dedy
Syahputra 130906017
Raan
Harry Pashi 1309060
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara
Tahun Ajaran 2014/2015
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ………………………………………. i
Daftar isi …………………………………………….. ii
Bab I
Pendahuluan ………………………………………………………...... 1
A. Latar
Belakang ………………………………............................. 1
B. Rumusan
Masalah ……………………………………………… 2
Bab II
Pembahasan …………………………………………………………… 3
A. Islam
Liberal …………………………......................................... 3
B. Bagaimana
paham Islam Liberal bisa meluas ke tanah air……… 4
C. Tokoh-tokoh
Jaringan Islam Liberal ……………………………. 7
D. Pemikiran
Jaringan Liberal……………………………………… 8
E. Perbandingan
Antara Islam dan Liberal………………………… 11
Bab III
Penutup
……………………………………………………………….. 12
A. Kesimpulan
……………………………………………………... 12
B. Saran
……………………………………………………………. 13
C. Daftar
Pustaka…………………………………………………… 14
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan beragama banyak sekali pemikiran yang
dikembangkan oleh para cendikiawan, termasuk di dalamnya agama islam. Dilihat
dari kenyataan historis, wacana pemikiran islam selalu berkembang dari waktu ke
waktu, sejak zaman Rasulullah saw. Sampai sekarang. Kehidupan beragama tidak
terlepas dari kehidupan sosial dimana agama itu berkembang, dimana diperlukan
berbagai pemikiran agar dapat mengaktualisasikan nilai-nilai keislaman.
Indonesia sebagai negara yang sebagian besar penduduknya
adalah umat islam tidak lepas dari perkembangan pemikiran dari awal mula
tersebarnya islam di bumi pertiwi sampai indonesia merdeka. Awal mula islam
berkembang di indonesia berlawanan dengan kepercayaan masyarakaat, sehingga
diperlukan strategi untuk menyebarkan islam di bumi indonesia. Salah satunya
adalah menggabungkan kebudayaan dan nilai-nilai substansi keislaman. Strategi
ini dapat diterima oleh masyarakat indonesia, mereka sedikit demi sedikit
meniggalkan agama nenek moyang beralih ke agama yang rahmatal lil’alamin
(islam). Pada sekarang ini, disaat indonesia telah merdeka dan kondisi
masyarakat telah berkembang pesat seiring dengan perkembangan teknologi,
tentunya banyak permasalahan yang baru yang muncul di permukaan yang belum ada
penjelasan yang jelas pada masa nabi saw. dengan keadaan yang semacam itu
menuntut para intelektual muslim untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran islam.
Perjalanan pemikiran Islam itu juga dipengaruhi oleh naik
turunnya kekuasaan pada abad ke-15. Pada abad itu terjadi kemerosotan pemikiran
Islam serta ditandai oleh kejumudan berpikir, sehingga kekuasaan para penjajah
menjadi kuat di hampir semua negara Islam yang terjajah. Di samping itu, para
penjajah ini juga membawa konsepsi pemikiran yang sengaja dikembangkan untuk
menyingkirkan atau paling tidak mendistorsi pemikiran Islam. Karena itu,
terjadi penurunan pemikiran di antara umat Islam sendiri. Ada yang ingin
mempertahankan nilai-nilai Islam dalam kehidupan mereka. Kelompok ini disebut
oleh para orientalis sebagai kelompok konservatif. Sedangkan anti tesa dari
kelompok ini adalah kelompok yang menginginkan perubahan dalam pemikiran Islam
sehingga ditarik sedemikian rupa agar sesuai dengan pemikiran modern yang nota
bene adalah model Barat. Kelompok kedua inilah disebut dengan kelompok yang
berpandangan liberal (Islam Liberal).
Islam liberal merupakan salah satu gerakan yang muncul di
masa modern sekarang ini, dimana perkembangan masalah-masalah yang diberbagai
bidang menerpa umat islam. Perkembangan pemikiran islam di Indonesia tidak
terlepas dari perkembangan pemikiran islam di daerah negara lain. Gerakan Islam
liberal, sebagaimana ditulis oleh tokohnya bertujuan untuk membebaskan
(liberating) umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kejumudan.
Islam dan liberal adalah dua istilah yang atagonis, saling
berhadap-hadapan tidak mungkin Islam bias bertemu, namun demikian ada
sekelompok orang di Indonesia yang rela menamakan dirinya dengan jaringan Islam
Liberal (JIL). Suatu penamaan yang: pas dengan orang-orangnya atu
pikiran-pikiran dan agendanya. Islam adalah pengakuan bahwa apa yang mereka
suarakan adalah haq, tetapi pada hakekatnya suara mereka itu batil karena
liberal tidak sesuai dengan Islam.Jaringan islam liberal berdiri di Indonesia
tidak dapat dilepaskan dari gerakan-gerakan keagamaan yang ada pada masa
kekuasaan orde baru, ketika umat islam merasa ditekan dan dipinggirkan oleh
pemerintahan pada masa itu.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apakah
Islam Liberal itu?
2. Bagaiaman
paham Islam Liberal bisa meluas ke tanah air?
3. Tokoh-
tokoh jaringan Islam Liberal?
4. Pemikiran
jaringan Islam Liberal?
5. Perbandingan
antara Islam dan Liberalisme?
BAB
II
PEMBAHASAAN
A.
Islam
Liberal
Islam adalah
Agama (Ad Din) yang diturunkan oleh Allah swt, sang Pencipta, kepada utusan terakhirNya
Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Agama ini berisikan seluruh ajaran dan
panduan hidup manusia di dunia. Panduan ini bersifat lengkap untuk
kesejahteraan seluruh manusia. Panduan bagaimana manusia berhubungan dengan
Penciptanya, yaitu Allah swt. Panduan, bagaimana manusia harus berhubungan
dengan manusia lainnya, serta panduan bagaimana manusia berhubungan dengan
dirinya sendiri.
Seluruh
panduan dalam Islam berasal dari Allah swt, yang mutlak kebenarannya. Berisi
perintah dan anjuran, begitu pula larangan dan cegahan, serta pilihan yang
diserahkan kepada manusia untuk bebas memilihnya.
Secara garis
besar, Islam berisikan tentang Aqidah dan Syariat. Aqidah merupakan panduan
berupa keyakinan-keyakinan yang harus diimani oleh manusia. Sedangkan Syariat
adalah panduan hukum yang berkenaan dengan perbuatan manusia.
Islam
tidak melarang manusia untuk berfikir dan mengembangkan potensi dirinya, tetapi
bukan untuk memikirkan hal-hal yang benar-benar telah pasti kebenarannya (kalam
Allah) serta mengubah syariat di dalamnya untuk disesuaikan dengan kebebasan
akal yang lemah. Hingga mungkin segelintir orang yang menamakn dengan Islam
Liberal, banyak yang terpelosok dan beranggapan bahwa “Semua agama adalah sama,
karena sama-sama menyembah pada Zat Yang Maha Satu, yaitu Tuhan”. Juga ada
banyak pandangan-pandangan lain yang bertentangan dengan akidah Islam yang haq.
Sedangkan liberalisme ialah falsafah
yang meletakkan kebebasan individu sebagai nilai politik tertinggi. Seseorang
yang menerima faham liberalisme dipanggil seorang liberal. Walau bagaimanapun,
maksud perkataan liberal mungkin berubah mengikuti konteks sesuai negara
tertentu.Perkataan liberal berasal dari pada perkataan Latin liber yang
bermaksud bebas atau bukan hamba. sedang dalam kamus "oxford Basic english
Dictionary" liberal:a person who is liberal lets other people do and think
what they want (seseorang yang liberal memberi kebebasan kepada orang lain
untuk berbuat dan berfikir sesuai dengan keinginan mereka).
Syaikh
Sulaiman al-Khirasyi menyebutkan,
liberalisme adalah madzhab pemikiran yang memperhatikan kebebasan individu.
Madzhab ini memandang, wajibnya menghormati kemerdekaan individu, serta
berkeyakinan bahwa tugas pokok pemerintah ialah menjaga dan melindungi
kebebasan rakyat, seperti kebebasan berfikir, kebebasan menyampaikan pendapat,
kebebasan kepemilikan pribadi, kebebasan individu, dan sejenisnya.
Tujuan di
Dirikannya
:
suatu keniscayaan bahwa didirikanya suatu kelompok pasti memiliki misi dan tujuan yang ingin di capai oleh suatu kelompok tersebut. Begitu juga Kelompok/ Jaringan Islam Liberal, yang mempunya pemahan kebebasan tanpa batas mempunyai tujuan dan misi –misi tertentu dibalik kebebasan tanpa batas yang mereka anut tersebut.
Dan kalau kita lihat dalam tulisan- tulisan mereka akan kita temukan diantara misi dan tujuan mereka adalah seperti berikut ini:
Salah satu tujuan utama Islam Liberal adalah menyebarkan gagasan Islam Liberal seluas-luasnya kepada masyarakat. Untuk itu mereka memilih bentuk jaringan, bukan organisasi kemasyarakatan, maupun partai politik. JIL adalah wadah yang longgar untuk siapapun yang memiliki aspirasi dan kepedulian terhadap gagasan Islam Liberal. Dan di antara misi- misinya:
suatu keniscayaan bahwa didirikanya suatu kelompok pasti memiliki misi dan tujuan yang ingin di capai oleh suatu kelompok tersebut. Begitu juga Kelompok/ Jaringan Islam Liberal, yang mempunya pemahan kebebasan tanpa batas mempunyai tujuan dan misi –misi tertentu dibalik kebebasan tanpa batas yang mereka anut tersebut.
Dan kalau kita lihat dalam tulisan- tulisan mereka akan kita temukan diantara misi dan tujuan mereka adalah seperti berikut ini:
Salah satu tujuan utama Islam Liberal adalah menyebarkan gagasan Islam Liberal seluas-luasnya kepada masyarakat. Untuk itu mereka memilih bentuk jaringan, bukan organisasi kemasyarakatan, maupun partai politik. JIL adalah wadah yang longgar untuk siapapun yang memiliki aspirasi dan kepedulian terhadap gagasan Islam Liberal. Dan di antara misi- misinya:
·
Pertama, mengembangkan penafsiran Islam yang liberal sesuai
dengan prinsip-prinsip yang mereka anut, serta menyebarkannya kepada seluas
mungkin khalayak.
·
Kedua, mengusahakan terbukanya ruang dialog yang bebas dari
tekanan prinsip mereka. mereka meyakini, terbukanya ruang dialog akan
memekarkan pemikiran dan gerakan Islam yang sehat.
·
Ketiga, mengupayakan terciptanya struktur sosial dan politik
yang adil dan manusiawi.
B.
Bagaimana
paham Islam Liberal bisa meluas ke tanah air
KH. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnya, pembaharuan Islam dimulai. Gagasan
pembaharuan Kyai Dahlan sendiri merupakan pengaruh dari tokoh-tokoh Mesir.
Ketika pendiri Muhammadiyah itu melakukan perjalanan ke Mekah untuk belajar di
sana, di tengah perjalanan ia membaca karya ‘Abduh dan Ridla, Tafsir al-Manar. Sepulangnya dari menimba ilmu itu, rupanya Tafsir al-Manar telah
menginspirasi KH. Ahmad Dahlan untuk melakukan pembaharuan Islam di Indonesia.
Selain karena pengaruh Mesir, penetrasi misi Katholik-Protestan dari penjajah
(Spanyol, Portugis, dan Belanda) dan parktik takhayul, khurafat serta bid’ah di
masyarakat Indonesia telah membuat KH. Ahmad Dahlan prihatin sekaligus protes
keras. Faktor-faktor inilah yang mendorong pembaharuan Islam oleh Kyai. Dahlan
bersama Muhammadiyahnya.
Kendati
begitu, dalam pandangan Harun, pembaharuan yang disuarakan Muhammadiyah
bukanlah pembaharuan yang prinsipil dan menyangkut hal-hal dasar (ushul), tapi
pada masalah cabang (furu’). Misalnya, soal ru’yah al-Hilal, patung, gambar,
musik, kenduri, tahlilan, dan lain-lainnya. Pembaharuan demikian berbeda dengan
yang terjadi di Mesir dan Turki. Sebagai orang yang
pernah belajar di Mesir dan di Barat, justru Harun sendirilah yang dikenal
sebagai lokomotif liberalisme di Indonesia melalui lembaga pendidikan tinggi.
Setelah pulang dari Mesir, ia kemudian bekerja di Institut Agama Islam Negeri
(IAIN), sekitar 1969. Ketika pemerintah, dalam hal ini Menteri Agama (Menag)
A.Mukti ‘Ali menunjuk dia sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, program
liberalisasi pemikiran Islam segera ditabuh dan digulirkan. (Adian Husaini,
Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, 2006)
Untuk merealisasikan liberalisme, Harun mempromosikan dan mensosialisasikan
paham Mu’tazilah. IAIN Jakarta di bawah komandonya mewajibakan para mahasiswa
membaca buku-buku karyanya, antara lain, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,
Teologi Islam, Filsafat Agama.
Belasan tahun kemudian, bukunya yang berjudul Islam Rasional juga menjadi
bacaan dan referensi ”wajib” di kalangan dosen dan mahasiswa IAIN. Kewajiban
memakai buku-buku karya Harun itu berlangsung sampai kini di semua jurusan atau
program studi, kendati nama IAIN sudah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN).
Maka di tangan Harun-lah UIN/IAIN/STAIN berhasil di-Mu’tazilah-kan.
Tentunya keberhasilan Harun menggeser dan mengubah model pemikiran di
lingkungan IAIN ketika itu tak lepas dari dukungan politik dari pemerintah Orde
Baru.
Harun memang dikenal gigih dan serius berkiprah di pendidikan tinggi. Ia
punya dedikasi tinggi untuk mengawal dan membesarkan IAIN sebagaimana yang ia
harapkan seperti lahirnya para pemikir liberal sekular di Mesir.
Menurut mantan muridnya
di program Pascasarjana IAIN, Dr. Ahmad Dardiri, Harun sangat perhatian dengan
mahasiswanya dalam berbagai hal. “Bimbingan tesis ataupun disertasi betul-betul
ia tangani dengan serius. Pak Harun betul-betul serius untuk berkiprah di dunia
pendidikan. Ini berbeda dengan Cak Nur yang kadang kurang serius dengan
bimbingan tesis atau disertasi mahasiswa. Waktunya tersita dengan kegiatan di
luar IAIN, ” ujarnya.
Setelah berjalan selama hampir 40 tahun, usaha Harun menemukan hasilnya.
Hampir seluruh UIN/ IAIN/ STAIN di seluruh Indonesia kini telah menjadi gerbong
terbesar proyek liberalisasi pendidikan dan studi Islam. Bila di masa Harun,
liberalisasi lebih ditekankan pada studi teologi/ilmu Kalam, maka saat ini
fokusnya adalah pada studi Al-Qur’an.
Hal ini dianggap strategis karena studi Al-Qur’an merupakan mata kuliah
umum wajib yang harus diambil seluruh mahasiswa. Tentunya juga, liberalisasi
Islam akan mudah berjalan dan kena sasaran bila leberalisasi Studi Al-Qur’an
diperkuat dan dikurikulumkan.
Proyek liberalisasi Studi Al-Qur’an ini semakin gencar dan serius dengan
dimasukanya mata kuliah Hermeneutika dan Semiotika di Program Studi Tafsir
Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Demikian pula mata kuliah Kajian
Orientalis terhadap Al-Qur’an dan Hadits.
Referensi dan sumber
dua mata kuliah ini adalah para pengibar liberalisme Studi Al-Qur’an, baik dari
kalangan Muslim maupun Kristen. Misalnya, Muhammad Arkoun, Norman Calder, Farid
Essack, Hans G. Gadamer, dan lain-lain. Tujuan pengajaran mata kuliah Hermeneutika
dan Semiotika adalah “Mahasiswa dapat menjelaskan dan menerapkan ilmu
Hermeneutika dan Semiotika terhadap kajian al-Qur’an dan Hadis.” Sedangkan
untuk Kajian Orientalis bertujuan, ” Mahasiswa dapat menjelaskan dan menerapkan
kajian orientalis terhadap al-Qur’an dan Hadits.”
Atas pengajaran mata
kuliah Hermeneutika ini, entah karena tak paham tentang bahaya penerapan
hermeneutika dalam studi Al-Qur’an atau karena alasan lain, seorang dosen ilmu
Hadis di Prodi Tafsir Hadis UIN Jakarta juga mengaku tak ada persoalan dengan
hal itu. “Tidak apa-apa. Itu bagus-bagus saja, ” katanya.
Pengajaran Studi Al-Qur’an dengan metode Barat itu, kini telah melahirkan
banyak mahasiswa/i dan sarjana UIN/IAIN/STAIN yang meragukan, menghujat, bahkan
melecehkan Al-Qur’an. Laporan majalah pekanan GATRA edisi 7 Juni 2006,
menyebutkan, seorang dosen IAIN Surabaya di depan para mahasiswanya membuat
adegan menginjak-injak lafaz Allah dengan kakinya tanpa merasa berdosa. Ini
adalah sebuah tindakan yang tak beradab dan tak terpuji. Padahal dia adalah
pengampu mata kuliah Sejarah Peradaban Islam.
C.
Tokoh-
tokoh jaringan Islam Liberal
Para tokoh pembela panji-panji liberal bukan
hanya menentang fatwa MUI tentang haramnya paham liberal dan pluralisme agama.
namun, tak jarang mereka juga “mengobrak abrik” umat dengan berbagai
statementnya yang menabrak nash-nash sharih dan Al Qur’an, Sunnah Shahihah, dan
Ijma Ulama. Tentu, ini sangat menyakiti hati setiap insan beriman
yang mencintai agamanya.
Ibarat berada
dalam satu sekolah yang sama, tidak mungkin semua siswanya mempunyai tingkat
kecerdasan yang sama atau memiliki kesamaan dalam segala hal. Mereka juga
tidak mungkin berada dalam di satu kelas yang sama. Begitulah dengan
liberalisme ini. Mereka pun berbeda-beda tingkatannya, beda usianya, beda
masanya, dan berbeda semangatnya. Meski tentu saja ada kesamaannya, sama-sama
liberal. Diantara mereka ada yanag memang tergabung dalam Jaringan Islam
Liberal (JIL) yang dimotori Ulii Absar Abdallah. Dan ada yang di luar JIL: ada
yang di NU, di Muhammadiyah, di Kampus, di luar Kampus, di Jawa, di luar
Jawa, dan sebagainya. Adapun menurut klasifikasi Budi Hadrianto ada
50 Tokoh Islam Liberal di Indonesia, diantaranya sebagi berikut :
Para
pelopor : Abdul
Mukti Ali, Abdurrahmana Wahid, Ahmad Wahib, Djohan Effendi, Harun
Nasution, M. Dawam Raharjo, Munawir Sjadzali, Nurchalis Madjid,
Para Senior : Abdul Munir Mulkhan, Ahmad Syafi’i
Ma’arif, Alwi Abdurrahman Shihab, Azyumardi Azra, Goenawan Mohammad, Jalaludin
Rahmat, Kautsar Azhari Noer, Komarudin Hidayat, M. Amin Abdullah, M. Syafi’i
Anwar, Masdar Farid Mas’udi, Moeslim Abdurrahman, Nasarudin Umar, Said Aqiel
Siradj, Zainul Kamal.
Para Perintis : Abd A’la, Abdul Moqsith
Ghazali, Ahmad Fuad Fanani, Ahmad Gauss AF, Ahmad Sahal, Bahtiar Effendy, Budhy
Munawar Rahman, Denny J.A, Fathimah Usman, Hamid Basyaib, Husain Muhammad,
Ihsan Ali Fauzi, M. Jadul Maula, M. Luthfi Asy-Syaukani, Muhammad Ali, Mun’im
A. Sirry, Nong Darol Mahmada, Rizal Malarangerng, Saiful Mujani, Siti
Musdah Mulia, Sukidi, Sumanto Al Qurthuby, Syamsu Rizal Panggabean, Taufik
Adnan Amal, Ulil Absar Abdalla, Zuhairi Misrawi, Zuly Qodir.
D.
Pemikiran
jaringan Islam Liberal
·
Asas Pertama Kebebasan
: ialah setiap individu bebas melakukan
perbuatan. Negara tak memiliki hak mengatur. Perbuatan itu hanya dibatasi oleh
undang-undang yang dibuat sendiri, dan tidak terikat dengan aturan agama.
Dengan demikian, liberalisme merupakan sisi lain dari sekulerisme, yaitu
memisahkan dari agama dan membolehkan lepas dari ketentuan agama. Sehingga asas
ini memberikan kebebasan kepada manusia untuk berbuat, berkata, berkeyakinan,
dan berhukum sesukanya tanpa dibatasi oleh syari’at Allah. Manusia menjadi
tuhan untuk dirinya dan penyembah hawa nafsunya. Manusia terbebas dari hukum,
dan tidak diperintahkan mengikuti ajaran Ilahi. Padahal Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. [al-An’âm/6:162-163]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِّنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. [al-Jâtsiyah/45:18].[4]
Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. [al-An’âm/6:162-163]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِّنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. [al-Jâtsiyah/45:18].[4]
·
Asas Kedua,
Individualisme (al-fardiyah) : Dalam hal ini meliputi dua pengertian.
Pertama, dalam pengertian ananiyah (keakuan) dan cinta diri sendiri. Pengertian inilah yang menguasai pemikiran masyarakat Eropa sejak masa kebangkitannya hingga abad ke-20 Masehi. Kedua, dalam pengertian kemerdekaan pribadi. Ini merupakan pemahaman baru dalam agama Liberal yang dikenal dengan pragmatisme.
Pertama, dalam pengertian ananiyah (keakuan) dan cinta diri sendiri. Pengertian inilah yang menguasai pemikiran masyarakat Eropa sejak masa kebangkitannya hingga abad ke-20 Masehi. Kedua, dalam pengertian kemerdekaan pribadi. Ini merupakan pemahaman baru dalam agama Liberal yang dikenal dengan pragmatisme.
·
Asas ketiga, yaitu
rasionalisme (aqlaniyyun, mendewakan akal). Dalam artian akal bebas dalam
mengetahui dan mencapai kemaslahatan dan kemanfaatan tanpa butuh kepada
kekuatan diluarnya.
AL-QUR’AN ADALAH TEKS
Menurut Kaum
Liberal bahwa Al-Qur’an adalah dokumen tertulis (manuskrip) yang diwariskan
Muhammad kepada umatnya, sehingga Al-Qur’an hanya merupakan “Teks” yang bisa
dan harus diteliti otentisitasnya melalui penerapan metode-metode Fisologi. Bagi
umat Islam, Al-Qur’an pada mulanya bukanlah “Teks” atau “Tulisan” tetapi
merupakan “Bacaan” yang dihafal dan diwariskan dari generasi ke generasi secara
mutawatir. Proses pewahyuan, penyampaian, pengajaran dan periwayatan Al-Qur’an
pada mulanya melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan. Sedang penulisan
Al-Qur’an hanya sebagai penunjang, itu pun pada mulanya “Tulisan” Al-Qur’an
hanya bersandar kepada “Hafalan Bacaan”, bukan sebaliknya.
Otentisitas
Al-Qur’an sebagai wahyu Allah SWT tidak diragukan sedikit pun. Walau pun
penghimpunan penulisan Al-Qur’an secara utuh baru dilakukan di zaman Sayyidina
Abu Bakar Ash-Shiddiq RA, lalu disempurnakan zaman Sayyidina Utsman ibnu ‘Affan
RA, kemudian makin disempurnakan di zaman-zaman berikutnya hinga di era
penerbitan dan percetakan laser sekarang ini, tapi tenggang waktu antara awal
penurunan wahyu kepada Rasulullah SAW hingga penghimpunan penulisan wahyu
tersebut tidak ada sedikit pun jeda kekosongan penyampaian, pengajaran dan
periwayatannya dari generasi ke generasi secara mutawatir, sehingga otentisitas
Al-Qur’an sebagai wahyu tetap terjaga dan terpelihara.
Berbeda dengan
Bibel misalnya, yang penghimpunan penulisannya dilaksanakan setelah ratusan
tahun dari zaman Nabi ‘Isa AS, dan sejak awal pewahyuan Injil kepada Nabi ‘Isa
AS hingga zaman penghimpunan penulisan telah terjadi jeda kekosongan
penyampaian, pengajaran dan periwayatannya dari generasi ke generasi. Sehingga
penghimpunan penulisan Bibel hanya bersandar kepada “manuskrip” yang tertulis
dalam bentuk papirus, skroll, dan sebagainya. Itulah sebabnya, penelitian
manuskrip Bibel menjadi keniscayaan untuk membuktikan keasliannya. Itu pula
sebabnya, kenapa para Orientalis tidak ada pilihan lain kecuali harus
mengkritisi Bibel melalui Metodologi Hermeneutika untuk meneliti keasliannya.
AL-QUR’AN PRODUK BUDAYA
Kaum Liberal
menyatakan bahwasanya sejak awal Al-Qur’an diturunkan kepada Muhammad hingga
wafatnya, selama lebih kurang 23 tahun, Al-Qur’an telah berinteraksi dengan
merespon dan mengakomodir realitas dan budaya masyarakat Arab, sehingga Al-Qur’
an tidak bisa melepaskan diri dari kungkungan realitas dan budaya yang ada di
masa itu. Karenanya, Al-Qur’an adalah “Teks” yang dilahirkan oleh realita dan
diproduksi oleh budaya. Inilah bentuk lain “onani pemikiran” hasil khayalan
kaum Liberal.
Andaikata
Al-Qur’an produk budaya karena terbentuk dalam realitas dan budaya, maka
semestinya Al-Qur’an menghalalkan apa yang dihalalkan masyarakat Arab
Jahiliyyah tempat dimana Al-Qur’an diturunkan, seperti : kemusyrikan,
perjudian, khamar, riba dan wa’dul Banaat (mengubur hidup-hidup anak
perempuan). Namun kenyataannya, Al-Qur’an menentang dan mengharamkan itu semua.
Justru masyarakat Arab Jahiliyyah memandang Al-Qur’an saat diturunkan sebagai
sesuatu yang aneh dan asing, karena bertentangan dengan realita dan budaya
mereka. Bahkan mereka menuduh Rasulullah SAW sebagai orang gila yang ingin
melawan realita dan budaya yang sudah berurat berakar di tengah masyarakat Arab
selama berabad-abad.
Jadi, Al-Qur’an
bukan produk budaya Jahiliyyah atau produk budaya apa pun, karena Al-Qur’an
bukan kesinambungan dari budaya mana pun ketika itu. Justru Al-Qur’an memproduk
budaya baru yang mengharamkan segala bentuk kemusyrikan, kesesatan, kezaliman,
kema’siatan dan kemunkaran. Al-Qur’an melahirkan budaya baru yang berakhlaqul
karimah, terhormat dan bermartabat. Kesimpulannya, bukan Budaya yang jadi
sumber Al-Qur’an, tapi sebaliknya justru Al-Qur’an yang jadi sumber budaya
agung dan luhur.
AL-QUR’AN PRODUK BAHASA
Kaum Liberal
berkhayal bahwa Tuhan punya bahasa tersendiri yang tidak dipahami manusia,
sedang bahasa Arab adalah bahasa manusia bukan bahasa Tuhan. Lucunya, kaum
Liberal sendiri tidak pernah tahu bahasa apa dan bagaimana yang mereka maksud
dengan bahasa Tuhan. Lalu dari onani khayalan tersebut, kaum Liberal menyatakan
bahwa Allah menurunkan Al-Qur’an dengan bahasa Tuhan yang tidak dipahami
manusia, lalu Muhammad menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab agar dipahami oleh
manusia.
Karenanya, kaum
Liberal meyakini adanya intervensi bahasa manusia dalam pembentukan Al-Qur’an,
apalagi penulisan Al-Qur’an dalam bentuk “Rasm Utsmani” memungkinkan dibaca
dengan beberapa bacaan (qiraat), sehingga Al-Qur’an menjadi “Teks Bahasa” yang
tunduk kepada kaidah dan karakteristik bahasa tersebut, baik lisan mau pun
tulisan.
Dalam aqidah
umat Islam bahwasanya Allah SWT Maha Berkehendak, dan dengan bahasa mau pun
tanpa bahasa, kehendak Allah SWT pasti berlaku. Allah SWT tidak membutuhkan
bahasa, karena bahasa adalah makhluq ciptaan-Nya dan Allah SWT tidak bergantung
kepada makhluq ciptaan-Nya. Allah SWT telah berkehendak menurunkan Al-Qur’an
dalam bahasa Arab untuk menyampaikan aturan-Nya kepada umat manusia agar
dipatuhi dan ditaati. Dan Al-Qur’an sejak awal diturunkan kepada Rasulullah SAW
sudah berbahasa Arab sesuai dengan kehendak Allah SWT yang berada di atas
segala kehendak, sehingga tidak ada intervensi bahasa manusia mana pun terhadap
Al-Qur’an sebagaimana dikhayalkan kaum Liberal.
AL-QUR’AN PRODUK SEJARAH
Kaum Liberal
menilai bahwasanya Al-Qur’an yang diturunkan pada abad ke-7 Miladi, terikat
kuat dengan realitas, budaya dan bahasa yang merupakan bagian daripada
“Fenomena Historis” masa itu, sehingga Al-Qur’an hanya merupakan produk sejarah
yang merekam situasi adat budaya masyarakat Arab di abad tersebut. Karenanya,
ke depan Al-Qur’an perlu mengadaptasi dengan perkembangan sejarah selanjutnya.
Fakta membuktikan bahwasanya Al-Qur’an tidak terikat dan tidak dipengaruhi
“Fenomena Historis” daripada realitas, budaya dan bahasa masyarakat Arab abad
ke-7 Miladi. Buktinya, Al-Qur’an bukan hanya merekam sejarah di masa turunnya,
tapi juga sejarah masa lalu di luar wilayah turunnya, bahkan masa akan datang
yang jauh dari jangkauan realitas, budaya dan bahasa masyarakat Arab
Jahiliyyah. Ratusan ayat Al-Qur’an mengisyaratkan secara menakjubkan berbagai
informasi pengetahuan ilmiah yang faktanya baru terungkap di abad modern,
seperti yang terkait Astronomi, Geologi, Biologi dan Embriologi. Jadi,
Al-Qur’an bukan produk sejarah, bahkan bersifat Transhistoris yaitu melampaui
historisitasnya sendiri.
E. Perbandingan antara
Islam dan Liberalisme
·
Aqidah
Liberalisme
beraqidah sekular, sedangkan Islam tidak beraqidah sekular
·
Sistem kehidupan yang terpancar
darinya:
Islam
menuntun kehidupan dengan sistem-sistem yang lahir dari Agama Islam itu
sendiri. Aturan Islam datang dari Allah swt. Liberalisme melahirkan
aturan-aturan yang tidak berlandaskan agama sama sekali.
·
Tentang kebebasan beragama:
Islam
mengajarkan bahwa agama di sisi Allah hanyalah Islam. Liberalisme mengajarkan
bahwa agama tidak perlu dipersoalkan. Agama adalah urusan individu. Setiap
Individu bebas memilih agama apapun.
·
Tentang kebebasan berpendapat:
Tidak ada
kebebasan berpendapat dalam Islam, kecuali dalam hal-hal yang mubah. Oleh
karena itu Musyawarah dalam Islam hanya dalam persoalan mubah. Hal ini berbeda
sama sekali dengan Liberalisme. Liberalisme membebaskan berpendapat apa saja
dalam seluruh persoalan, karena setiap individu dijamin bebas berpendapat.
·
Tentang kebebasan berperilaku
Syari’at
Islam mengikat setiap perbuatan manusia. Setiap perbuatan manusia harus terikat
dengan hukum Syari’at. Hal ini beda sama sekali dengan Liberalisme, dimana ia
membebaskan setiap Individu untuk berbuat apa saja asalkan tidak merugikan hak
individu lain.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari paparan ide dasar
baik Islam maupun Liberalisme tersebut di atas, jelas sekali bahwa antara Islam
dan Liberalisme, tidak ada kaitannya sama sekali, dan tidak perlu
dikait-kaitkan. Mengaitkan dua hal yang bertentangan adalah tindakan yang
bodoh. Apalagi hasil kaitan yang di reka-reka tersebut disebar luaskan untuk
bisa diikuti umat. Jelas ini merupakan aktivitas yang membodohi umat. Perlu
diwaspadai gerakan-gerakan yang mengatasnamakan Islam, pembaharuan Islam, akan
tetapi sesungguhnya adalah penghancuran terhadap Islam dari dalam.
Jika kita telusuri
lebih jauh maka kita akan temukan banyak sekali pandanagan yang memang
sangatlah bertentangan dengan Islam. Para tokoh Islam Liberal pun berusaha keras
untuk mengoyahkan Iman Umat Islam, karena memang itulah tujuan orang-orang
kafir sejak zaman dahulu.
Islam memang tak
melarang manusia untuk berpikir, namun pikirkanlah apa yang bermanfaat, bukan
untuk memikirkan hal yang dapat menentang keAbsolutan yang haq, baik itu zat
Allah, Al-Qur’an, kenabian, syariat, sunnah, dan begitu banyak pemikiran mereka
yang menentang apa yang telah nyata kebenarannya.
Jaringan Islam Liberal merupakan gerakan para intelektual
islam yang menginginkan adanya reinpretasi dalam agama, mereka terpengaruh
dengan dunia barat, tempat dimana mereka mengembangkan ilmu. Adanya isu-isu yang
diangkat oleh jaringan ini bertujuan untuk membumikan Al-Qur’an. Namun
pemikiran yang bertujuan baik akan menimbulkan hal yang negatif jika pemikiran
tersebut sampai menimbulkan kerancuan dalam berpikir.
Berfikir adalah salah satu anjuran dalam islam, karena dia
adalah pintu gerbang pengetahuan, dan salah satu wasilah seorang hamba untuk
mengetahui bukti-bukti akan adanya Sang Maha Pencipta lagi Maha Perkasa, yang
menjadikan hambanya semakin bertambah keimanan dan ketaqwaannya. Namun berfikir
pula dapat menjadikan seorang hambanya tersesat dari jalanNya,
Allah SWT
berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil sebagai
wali' (pemimpin, teman kepercayaan, panutan) orang-orang yang membuat agamamu
jadi buah ejekan dan permainan."(Al-Mâidah:57)
B. Saran
-
Bidang Dakwah
Dakwah
Islamiah salafiyyah adalah penawar dari segala racun, obat dari segala penyakit
dan senjata ampuh untuk melawan segala musuh agar manusia takluk dan tunduk
dengan dakwah yang disampaikannya
-
Bidang hukum
Menindak
para penebar virus liberal yang merusak bangsa dan agama itu ke pengadilan
(jika memang ada pengadilan dan keadilan), untuk menerima hukuman
DAFTAR
PUSTAKA
Legenhausen,
Muhammad. 2002. Satu Agama atau Banyak
Agama. Jakarta: Lentera.
Qodir,
Zuly. 2003. Islam Liberal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sjafril,
Akmal. 2000. Islam Liberal 101.
Jakarta: Afnan Publishing.
Taufiq,
Ahmad.2005. Perkembangan Islam Liberal.
Jakarta : Gramedia.