Sudah Saatnya Mengakhiri
Eskalasi Harga Komoditas Jelang Ramadhan
Oleh : Dedy
Syahputra
Eskalasi
harga pangan menjelang Ramadan bukanlah fenomena baru. Selain karena hari-hari
besar seperti Idul Fitri, Idul Adha, Natal, tahun baru, dan lain-lain, siklus
tahunan harga-harga pangan selalu mengalami peningkatan pada musim tanam dan
pada musim kemarau. Peningkatan ini ialah konsekuensi logis dari kecenderungan
tingginya permintaan, karena setiap rumah tangga berusaha memberikan pelayanan
terbaik bagi seluruh anggota keluarganya.
Kepala
Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin menjelaskan pemerintah harus melakukan
berbagai upaya untuk menjaga stabilitas harga pangan, terutama komoditas daging
ayam, daging sapi, beras, dan bawang merah, mendekati bulan puasa pada awal
Juni 2016. Menurut pantauan BPS, harga bawang merah pada Mei 2016 mengalami
kenaikan 36 persen dibandingkan Mei 2015 dan 46 persen dibandingkan periode
April 2015. Untuk komoditas tertentu, seperti bawang saat ini harganya Rp 41
ribu. Tahun lalu di bawah Rp 30 ribu.
Ketika media massa melaporkan kenaikan harga bawang
merah pangan, sebagian pejabat tidak terlalu terkejut, tapi sebagian kecil
seakan terkaget-kaget, sambil mencoba mencari tahu tentang sistem tata niaga
komoditas pangan. Bawang merah dan cabai merah seakan menjadi primadona untuk
dipantau secara sistematis karena eskalasi kenaikan harganya terjadi amat
fenomenal.Harga bawang merah dan cabai merah di Jambi naik 21% dan 63%, di
Langkat naik 20% dan 25%, di Bukittinggi naik 7% dan sebagainya. ‘Untungnya’,
menjelang Ramadan ini harga beras, gula pasir, daging dan telur ayam masih
meningkat dengan laju yang masuk akal, paling tinggi tidak lebih dari 7% (Media Indonesia). Terus apakah dari
zaman Presiden Soeharto sampai ke zaman yang merakyat, dengan hobi “blusukan”
harga komoditas pangan naik jelang hari-hari besar ?
Biang Keladi
Menurut teori harga, tingkat
permintaan dan penawaran yang ada, ditetapkan harga keseimbangan dengan cara
mencari harga yang mampu dibayar konsumen dan harga yang diterima produsen
sehinga terbentuklah jumlah yang diminta sama dengan jumlah yang ditawarkan. Meroketnya
harga bahan pokok akibat buruknya infrastruktur distribusi, saluran distribusi
yang tergangu sebab banyak yang sudah rusak otomatis biaya produksi menjadi
naik. Pemerintah harus mengantisipasi gangguan distribusi bahan pokok di
bulan Ramadhan dan Lebaran agar tak menimbulkan gejolak harga di pasar.
Hukum dan mekanisme pasar
berlaku, efek paling dominan pengaruhnya terhadap kenaikan harga
sembako, pemerintah benar-benar melepas harga sembako pada mekanisme
pasar. Sejak pemerintah menjadi pengikut setia dogma neoliberal, hampir semua
persoalan ekonomi diserahkan kepada pasar, nenek moyang semua masalah diatas,
padahal kemampuan membeli masyarakat rendah karena naiknya harga tak diimbangi
dengan meningkatnya jumlah pendapatan. Masyarakat seakan tak memiliki pilihan
dan benar-benar tak berdaya ketika bahan pokok melambung.
Tradisi para pedagang yang
menyetok barang yang akan dijual kembali pada harga tinggi, artinya faktor
suplai dan permintaan, kenaikan harga akibat aksi koboy spekulasi pedagang yang
memiliki modal besar. Artinya, menimbun stok dan menjual kembali secara
bertahap
Kenaikan harga bahan pokok
lebih banyak disebabkan buruknya tata niaga, sebab panjangnya mata rantai
perdagangan. Tata niaga yang tak sehat yang menjelaskan mengapa kenaikan harga
pangan tak nikmati petani sebagai produsen. Sebab, Petani tak punya semangat
menanam padi karena harga beras dan buah mereka dihargai rendah dan
pemerintah yang tak berpihak kepada petani, sementara harga impor murah
sehingga harga buah lokal, beras dan daging tak mampu bersaing dengan harga
produk impor.
Kinerja Pemerintah
Secara
sederhana, masyarakat produsen, konsumen, dan pedagang sebenarnya telah cukup
paham tentang siklus tahunan harga pangan. Pemerintah pun seharusnya paham tentang
fenomena eskalasi dan penurunan harga pangan dan komoditas pertanian lain,
terutama mereka yang bertanggung jawab langsung pada perumusan dan implementasi
serangkaian kebijakan ekonomi. Masyarakat luas tentu bertanya-tanya tentang
kinerja birokrasi pemerintahan apabila tugas pokok mendasar yang menjadi menu
pekerjaan sehari-hari tersebut tidak dapat dijalankannya secara konsisten.
Indonesia
memerlukan kelembagaan pangan yang amat kuat untuk mampu menjalankan misi besar
kedaulatan pangan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla,
sebagaimana tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
2015-2019. Kelembagaan pangan tersebut adalah amanat eksplisit dari
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, khususnya Pasal 126-129, yang
kelak menjadi jangkar dan induk dari Perum Bulog dan sekian badan usaha milik
negara (BUMN) pangan lainnya.
Menurut
Prof. Bustanul Arifin, idealnya kelembagaan ini berfungsi melakukan perumusan
dan penyusunan kebijakan di bidang ketersediaan, distribusi, harga, konsumsi
dan keamanan pangan serta penanganan kerawanan pangan dan gizi. Kelembagaan
pangan ini juga melakukan strategi pengembangan, pembinaan, pengawasan dan
pengendalian di bidang ketersediaan, distribusi, harga, konsumsi dan keamanan
pangan serta penanganan kerawanan pangan dan gizi.
Stabilitas
Apakah
rencana Pemerintah, terutama Direktur Pelayan Publik Bulog berhubungan dengan
fenomena eskalasi harga pangan ini? Mungkin tidak langsung. Roda ekonomi pangan
dan dinamika kebijakan ekonomi makro masih akan terus berputar. pemerintah
telah memiliki strategi untuk menjaga stabilitas harga pangan nasional secara
konsisten dan sistematis.
Melalui sistem produksi pangan wajib diperbaiki dan
dimodernisasi, tanpa harus menggusur petani kecil dari sistem ekonomi pangan,
sebagaimana perannya selama ini. Konsolidasi lahan, perubahan teknologi,
pengembangan inovasi baru adalah sekian contoh dari upaya modernisasi sistem
produksi pangan dan produk pertanian lainnya. Solusi seperti ini memang tidak
dapat diselesaikan secara jangka pendek karena sifatnya sangat struktural dan
berhubungan dengan keseriusan negara dalam melakukan pemihakan dan pendampingan
pada petani di seluruh Indonesia.
Rasa saling percaya di antara pejabat pemerintah, di
pusat dan di daerah, serta di antara pelaku ekonomi, perdagangan dan masyarakat
perlu senantiasa dibangun dan dikembangkan. Masyarakat tentu lelah membaca
kontroversi pernyataan para pejabat negara dan dikhawatirkan menimbulkan
peluang spekulasi baru, yang justru tidak kondusif bagi upa ya stabilisasi
harga pangan secara umum. Aparat penegak hukum tidak perlu ragu untuk menindak
tegas bagi siapa pun yang bermain-main dengan stabilitas harga pangan yang
dapat meresahkan.
Selanjutnya, pemerintah melakukan manajemen pasokan
dan operasi pasar (OP) pangan pokok, utamanya beras, memerlukan ketegasan
sekaligus fleksibilitas, yang dapat meningkatkan wibawa negara dalam mengelola
cadangan pangan. Negara tidak boleh kalah wibawa dengan spekulan harga pangan
yang hanya mengejar rente ekonomi dan keuntungan sesaat. Kebijakan stabilisasi
harga pangan wajib menjadi acuan bagi pelaku usaha ekonomi untuk bertindak
sesuai dengan kapasitas dan kompetensinya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar