Minggu, 19 Juni 2016

Sudah Saatnya Mengakhiri Eskalasi Harga Komoditas Jelang Ramadhan

Sudah Saatnya Mengakhiri Eskalasi Harga Komoditas Jelang Ramadhan

Oleh : Dedy Syahputra

Eskalasi harga pangan menjelang Ramadan bukanlah fenomena baru. Selain karena hari-hari besar seperti Idul Fitri, Idul Adha, Natal, tahun baru, dan lain-lain, siklus tahunan harga-harga pangan selalu mengalami peningkatan pada musim tanam dan pada musim kemarau. Peningkatan ini ialah konsekuensi logis dari kecenderungan tingginya permintaan, karena setiap rumah tangga berusaha memberikan pelayanan terbaik bagi seluruh anggota keluarganya.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin menjelaskan pemerintah harus melakukan berbagai upaya untuk menjaga stabilitas harga pangan, terutama komoditas daging ayam, daging sapi, beras, dan bawang merah, mendekati bulan puasa pada awal Juni 2016. Menurut pantauan BPS, harga bawang merah pada Mei 2016 mengalami kenaikan 36 persen dibandingkan Mei 2015 dan 46 persen dibandingkan periode April 2015. Untuk komoditas tertentu, seperti bawang saat ini harganya Rp 41 ribu. Tahun lalu di bawah Rp 30 ribu.
Ketika media massa melaporkan kenaikan harga bawang merah pangan, sebagian pejabat tidak terlalu terkejut, tapi sebagian kecil seakan terkaget-kaget, sambil mencoba mencari tahu tentang sistem tata niaga komoditas pangan. Bawang merah dan cabai merah seakan menjadi primadona untuk dipantau secara sistematis karena eskalasi kenaikan harganya terjadi amat fenomenal.Harga bawang merah dan cabai merah di Jambi naik 21% dan 63%, di Langkat naik 20% dan 25%, di Bukittinggi naik 7% dan sebagainya. ‘Untungnya’, menjelang Ramadan ini harga beras, gula pasir, daging dan telur ayam masih meningkat dengan laju yang masuk akal, paling tinggi tidak lebih dari 7% (Media Indonesia). Terus apakah dari zaman Presiden Soeharto sampai ke zaman yang merakyat, dengan hobi “blusukan” harga komoditas pangan naik jelang hari-hari besar ?


Biang Keladi
Menurut teori harga, tingkat permintaan dan penawaran yang ada, ditetapkan harga keseimbangan dengan cara mencari harga yang mampu dibayar konsumen dan harga yang diterima produsen sehinga terbentuklah jumlah yang diminta sama dengan jumlah yang ditawarkan. Meroketnya harga bahan pokok akibat buruknya infrastruktur distribusi, saluran distribusi yang tergangu sebab banyak yang sudah rusak otomatis biaya produksi menjadi naik. Pemerintah harus me­ngan­tisipasi gangguan distribusi ba­han pokok di bulan Ramadhan dan Lebaran agar tak menimbulkan gejolak harga di pasar.
Hukum dan mekanisme pasar berla­ku, efek paling dominan pengaruhnya terhadap kenaikan harga sembako, pemerintah benar-benar melepas harga sembako pada mekanisme pasar. Sejak pemerintah menjadi pengikut setia dogma neoliberal, hampir semua persoalan ekonomi diserahkan kepada pasar, nenek moyang semua masalah diatas, padahal kemampuan mem­beli masyarakat rendah karena naiknya harga tak diimbangi dengan meningkatnya jumlah pen­dapatan. Masyarakat seakan tak memiliki pilihan dan benar-benar tak berdaya ketika bahan pokok melambung.
Tradisi para pedagang yang menyetok barang yang akan dijual kembali pada harga tinggi, artinya faktor suplai dan permintaan, kenaikan harga akibat aksi koboy spekulasi pedagang yang memiliki modal besar. Artinya, menimbun stok dan menjual kembali  secara bertahap
Kenaikan harga bahan pokok lebih banyak disebabkan buruknya tata niaga, sebab panjangnya mata rantai perdagangan. Tata niaga yang tak sehat yang menjelaskan mengapa kenaikan harga pangan tak nikmati petani sebagai produsen. Sebab, Petani tak punya semangat menanam padi karena harga beras dan buah mereka dihargai rendah dan  pemerintah yang tak berpihak kepada petani, sementara harga impor murah sehingga harga buah lokal, beras dan daging tak mampu bersaing dengan harga produk  impor.

Kinerja Pemerintah
Secara sederhana, masyarakat produsen, konsumen, dan pedagang sebenarnya telah cukup paham tentang siklus tahunan harga pangan. Pemerintah pun seharusnya paham tentang fenomena eskalasi dan penurunan harga pangan dan komoditas pertanian lain, terutama mereka yang bertanggung jawab langsung pada perumusan dan implementasi serangkaian kebijakan ekonomi. Masyarakat luas tentu bertanya-tanya tentang kinerja birokrasi pemerintahan apabila tugas pokok mendasar yang menjadi menu pekerjaan sehari-hari tersebut tidak dapat dijalankannya secara konsisten.
Indonesia memerlukan kelembagaan pangan yang amat kuat untuk mampu menjalankan misi besar kedaulatan pangan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, sebagaimana tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019. Kelembagaan pangan tersebut adalah amanat eksplisit dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, khususnya Pasal 126-129, yang kelak menjadi jangkar dan induk dari Perum Bulog dan sekian badan usaha milik negara (BUMN) pangan lainnya.
Menurut Prof. Bustanul Arifin, idealnya kelembagaan ini berfungsi melakukan perumusan dan penyusunan kebijakan di bidang ketersediaan, distribusi, harga, konsumsi dan keamanan pangan serta penanganan kerawanan pangan dan gizi. Kelembagaan pangan ini juga melakukan strategi pengembangan, pembinaan, pengawasan dan pengendalian di bidang ketersediaan, distribusi, harga, konsumsi dan keamanan pangan serta penanganan kerawanan pangan dan gizi.

Stabilitas
Apakah rencana Pemerintah, terutama Direktur Pelayan Publik Bulog berhubungan dengan fenomena eskalasi harga pangan ini? Mungkin tidak langsung. Roda ekonomi pangan dan dinamika kebijakan ekonomi makro masih akan terus berputar. pemerintah telah memiliki strategi untuk menjaga stabilitas harga pangan nasional secara konsisten dan sistematis.
Melalui sistem produksi pangan wajib diperbaiki dan dimodernisasi, tanpa harus menggusur petani kecil dari sistem ekonomi pangan, sebagaimana perannya selama ini. Konsolidasi lahan, perubahan teknologi, pengembangan inovasi baru adalah sekian contoh dari upaya modernisasi sistem produksi pangan dan produk pertanian lainnya. Solusi seperti ini memang tidak dapat diselesaikan secara jangka pendek karena sifatnya sangat struktural dan berhubungan dengan keseriusan negara dalam melakukan pemihakan dan pendampingan pada petani di seluruh Indonesia.

Rasa saling percaya di antara pejabat pemerintah, di pusat dan di daerah, serta di antara pelaku ekonomi, perdagangan dan masyarakat perlu senantiasa dibangun dan dikembangkan. Masyarakat tentu lelah membaca kontroversi pernyataan para pejabat negara dan dikhawatirkan menimbulkan peluang spekulasi baru, yang justru tidak kondusif bagi upa ya stabilisasi harga pangan secara umum. Aparat penegak hukum tidak perlu ragu untuk menindak tegas bagi siapa pun yang bermain-main dengan stabilitas harga pangan yang dapat meresahkan.


Selanjutnya, pemerintah melakukan manajemen pasokan dan operasi pasar (OP) pangan pokok, utamanya beras, memerlukan ketegasan sekaligus fleksibilitas, yang dapat meningkatkan wibawa negara dalam mengelola cadangan pangan. Negara tidak boleh kalah wibawa dengan spekulan harga pangan yang hanya mengejar rente ekonomi dan keuntungan sesaat. Kebijakan stabilisasi harga pangan wajib menjadi acuan bagi pelaku usaha ekonomi untuk bertindak sesuai dengan kapasitas dan kompetensinya.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar