Oleh: Dedy Syahputra
Dalam masyarakat
modern, kata birokrasi tidak dapat terelakkan lagi. Sebab eksistensi birokasi
sebagai lembaga tinggi dari tugas negara (administrasi) yang berperan menyelenggarakan
kesejahteraan rakyat (social welfire).
Dalam mencapai kinerjanya, produktivitas pelayanan menjadi suatu dasar dalam
peningkatan “efektivitas dan efisiensi”. Sebab isu mengenai kualitas layanan
ditubuh birokrasi, cenderung menjadi semakin penting dalam melaksanakan kinerja
organisasi pelayanan publik. Banyak pandangan negatif yang terbentuk mengenai
organisasi publik (birokrasi), akibat ketidakpuasan masyarakat terhadap
kualitas pelayanan yang diterima dan dirasakan.
Dengan demikian, kepuasaan masyarakat terhadap
layanan dapat dijadikan indikator kinerja birokrasi. Kepuasan masyarakat dapat
dijalankan dalam unsur responsivitas, dimana kemampuan birokrasi untuk mengenali
kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan,
serta mengembangkan program-program
pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Dengan
kata lain, keselarasan antara birokrat dan masyarakat dalam kegiatan pelayanan publik menjadi
sinkron.
Tindakan
Korupsi Dilingkungan Birokrasi
Keberadaan pegawai negeri sipil
dalam sistem birokrasi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999
tentang pokok-pokok Kepegawaian khususnya pasal 3 ayat 1. Pegawai negeri
berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam
penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan. Saat
ini, fakta yang ditampilkan melalui berbagai media massa menunjukkan masih
banyak ditemukan fenomena atau gejala yang menggambarkan praktek korupsi di
birokrasi yang semakin luas. Indonesia mengalami krisis kepercayaan masyarakat
pada birokrasi dalam memberikan pelayanan publik yang bersih dari berbagai
macam tindakan korupsi.
Meluasnya praktik KKN
(kolusi, korupsi, dan nepotisme) dalam tubuh birokrasi publik semakin
memudarkan upaya perbaikan birokrasi itu sendiri. Praktik KKN telah melahirkan
pelayanan publik yang bersifat diskriminatif, karena pelayanan hanya diberikan
kepada mereka yang mampu membayar, ini yang dikatakan bahwa dalam bertindak,
para birokrat tidak berdasarkan kaidah etis yang ada.
Terkait
dengan persoalan ini, Singh (1974) menganalisis persoalan tindakan korupsi ditubuh birokrasi, yang pada hakikatnya
berupa Arus Modrenisasi, Kultur,Faktor
Mentalitas. Arus Modrenisasi membuat korupsi terdapat lebih banyak dijumpai
dalam masyarakat yang sedang berkembang. Faktanya,
para birokrat selalu hidup dengan taraf ekonomi yang tinggi dengan gaji rendah,
seperti Kasus yang melibatkan aparat birokrat dilingkungan Dirjen Pajak,
Gayus Halomoan Tambunan seorang pegawai Ditjen
Pajak yang memiliki tabungan senilai Rp 25
miliar dengan golongan IIIa. Bukti ini menunjukkan
bahwa luas perkembangan korupsi berkaitan dengan modernisasi sosial dan ekonomi yang cepat.
Sedangkan korupsi karena kultur (budaya),
suatu kebiasaan korupsi di
Indonesia. Tradisi pemberian hadiah, ucapan
terima kasih yang sudah menjadi budaya rakyat Indonesia mengakibatkan semakin suburnya budaya korupsi di
Indonesia. Hal ini dapat dlihat dari kasus Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo
Nugroho “memberikan penyuapan kepada para birokrasi di Pemprov Sumut, Hakim
PTUN, DPRD Sumut dan beberapa instansi lainnya”. Korupsi di lingkungan birokrasi
saat ini dianggap sudah membudaya dan menjadi bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari praktek kehidupan masyarakat sehari-hari. Berikutnya faktor
mentalitas, Sikap mental pegawai yang ingin cepat kaya dengan
cara yang tidak halal, tidak ada kesadaran bernegara serta pudarnya idealisme,
dapat menimbulkan kebocoran-kebocoran keuangan yang membawa akibat mempermudah orang melakukan korupsi. Realita
seperti ini banyak terjadi di instansi-instansi yang menangani masalah
perpanjangan izin kendaraan bermotor. Pungli-pungli liar dan para calo-calo
membantu perkembangan korupsi di tubuh birokrasi.
Menurut Lord Acton
(1834-1902) mengatakan : “Power tends to corrupt, and absolute power
corrupts absolutely”, terjadinya korupsi
tidak dapat dipungkiri dengan "kesempatan
dan jabatan/kekuasaan" sebagai sumber utama dari korupsi. Semua orang yang mempunyai kedua faktor tersebut akan
cenderung menyalahgunakan jabatan dan
menggunakan kesempatan untuk memperkaya diri sendiri.
Etika
Dalam
kaitannya dengan etika, moral, akhlak serta tingkah laku, dan baik buruknya
suatu perbuatan dilihat dari ketentuan hukum yang berlaku di masyarakat.
Kaitannya dengan sosok pejabat publik atau penyelenggara negara akan
menggambarkan sejauh mana kualitas mental dan moral pejabat tersebut. Perilaku
korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan segudang perilaku lainnya yang masyarakat
tidak percaya dapat dikategorikan sebagai hilangnya nilai-nilai etika yang
seharusnya dijunjung tinggi oleh pejabat publik. Jika hal tersebut telah
menjadi sebuah kultur, maka tentu akan sangat berpengaruh terhadap kemajuan
suatu bangsa, dimana maju tidaknya bangsa tersebut tergantung pada kyalitas
mental, moral dan kemampuan pemimpinnya.
Satu hal yang sangat penting untuk diaplikasikan dalam menangani maraknya
tindakan korupsi di lingkungan birokrasi, dengan menerapkan konsep “etika
administrasi” dalam lingkungan birokrasi. Etika administrasi merupakan sikap
yang jujur dalam menjalankan fungsi sesuai aturan institusi, dari tidak adanya
intervensi politik, pengusaha dan lainnya. Menurut Immanuel Kant (1980), “etika
berusaha menggugah kesadaran manusia untuk bertindak secara otonom dan bukan
secara heteronom”. Rendahnya etika para birokrat terjadi karena rendahnya
pemahaman dari norma–norma umum yang sangat mendasar. Sehubungan dengan
korupsi, etika kemudian lahir sebagai alat kontrol dalam menjalankan
administrasi.
Hal ini dikarenakan ada seperangkat nilai yang kemudian diyakini, bahkan
diamanahkan kepada pemerintah untuk dipegang teguh dalam setiap tingkah laku
administrasi. Jika etika yang kemudian dilembagakan dalam kode etik dipegang
dengan teguh, maka penyimpangan seperti korupsi tidak akan terjadi.
Reformasi Birokrasi
Permasalahan yang berkaitan dengan
reformasi birokrasi pasca era reformasi seperti tidak tersentuh sama sekali.
Hal ini menjadi tanda tanya setelah pergantian rezim dari orde baru ke
reformasi tidak memberikan pengaruh apapun. malah semakin parah dari rezim
sebelumnya. Reformasi hanya dipandang sebagai pergantian kepemimpinan dalam
rangka melegitimasikan Soeharto sebagai presiden, hingga sekarang sudah lima
kali pergantian presiden namun reformasi birokrasi tidak menunjukan tanda-tanda
perubahan berarti.
Menurut Mark
Turner, kesulitan mereformasi birokrasi di negara-negara Asia disebabkan oleh
budaya “patronase” yang sangat kuat. Patronase adalah semangat perkawanan di
mana individu yang memiliki status sosio-ekonomi yang lebih tinggi (patron)
menggunakan pengaruh dan sumberdayanya untuk melindungi dan memberi keuntungan
bagi yang berkedudukan lebih rendah (client),
sementara sang client pada gilirannya
memberi dukungan dan bantuan termasuk pelayanan personal bagi sang patron
(Turner, 2013: 277)
Masa pemerintahan Jokowi ingin
membangun birokrasi yang bersih, pelayanan publik yang cepat dengan konsep
“revolusi mental” dan “nawacita”. Menurut Yuddy Chrisnandy
(Menteri PAN-RB), konsep revolusi mental
yang diterapkan oleh Pak Jokowi
adalah perubahan paradigma, mindset, atau budaya politik dalam rangka nation building sesuai dengan cita-cita
Proklamasi Indonesia merdeka, adil dan makmur. Sedangkan konsep dari nawacita, membuat
pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan nyang bersih,
efektif, demokratis, dan terpecaya.
Penulis
berharap pada masa pemeintahan Jokowi-Jk sasaran revolusi mental dalam konteks
birokasi merupakan wujudnya perubahan “radikal positif” atas mind-set dan culture-set, kapabilitas, perilaku, dan gaya aparatur birokrasi.
Aparatur birokrasi harus bersih, kompeten, bekerja efektif dan efisien, serta
bermental, bergaya sebagai pelayanan publik, bukan sebagai priyayi yang minta
dilayani.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar