Selasa, 21 Juni 2016

Memprihatinkan... Korupsi ditubuh Birokrasi



Oleh: Dedy Syahputra

Dalam masyarakat modern, kata birokrasi tidak dapat terelakkan lagi. Sebab eksistensi birokasi sebagai lembaga tinggi dari tugas negara (administrasi) yang berperan menyelenggarakan kesejahteraan rakyat (social welfire). Dalam mencapai kinerjanya, produktivitas pelayanan menjadi suatu dasar dalam peningkatan “efektivitas dan efisiensi”. Sebab isu mengenai kualitas layanan ditubuh birokrasi, cenderung menjadi semakin penting dalam melaksanakan kinerja organisasi pelayanan publik. Banyak pandangan negatif yang terbentuk mengenai organisasi publik (birokrasi), akibat ketidakpuasan masyarakat terhadap kualitas pelayanan yang diterima dan dirasakan.

  Dengan demikian, kepuasaan masyarakat terhadap layanan dapat dijadikan indikator kinerja birokrasi. Kepuasan masyarakat dapat dijalankan dalam unsur responsivitas, dimana kemampuan birokrasi  untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, serta mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Dengan kata lain, keselarasan antara birokrat dan masyarakat  dalam kegiatan pelayanan publik menjadi sinkron.

Tindakan Korupsi Dilingkungan Birokrasi
           
Keberadaan pegawai negeri sipil dalam sistem birokrasi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang pokok-pokok Kepegawaian khususnya pasal 3 ayat 1. Pegawai negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan. Saat ini, fakta yang ditampilkan melalui berbagai media massa menunjukkan masih banyak ditemukan fenomena atau gejala yang menggambarkan praktek korupsi di birokrasi yang semakin luas. Indonesia mengalami krisis kepercayaan masyarakat pada birokrasi dalam memberikan pelayanan publik yang bersih dari berbagai macam tindakan korupsi.

Meluasnya praktik KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme) dalam tubuh birokrasi publik semakin memudarkan upaya perbaikan birokrasi itu sendiri. Praktik KKN telah melahirkan pelayanan publik yang bersifat diskriminatif, karena pelayanan hanya diberikan kepada mereka yang mampu membayar, ini yang dikatakan bahwa dalam bertindak, para birokrat tidak berdasarkan kaidah etis yang ada.

            Terkait dengan persoalan ini, Singh (1974) menganalisis persoalan tindakan  korupsi ditubuh birokrasi, yang pada hakikatnya berupa Arus Modrenisasi, Kultur,Faktor Mentalitas. Arus Modrenisasi membuat korupsi terdapat lebih banyak dijumpai dalam masyarakat yang sedang berkembang. Faktanya, para birokrat selalu hidup dengan taraf ekonomi yang tinggi dengan gaji rendah, seperti Kasus yang melibatkan aparat birokrat dilingkungan Dirjen Pajak, Gayus Halomoan Tambunan seorang pegawai Ditjen Pajak yang memiliki tabungan senilai Rp 25 miliar dengan golongan IIIa. Bukti ini menunjukkan bahwa luas perkembangan korupsi berkaitan dengan modernisasi sosial dan ekonomi yang cepat.

 Sedangkan korupsi karena kultur (budaya), suatu kebiasaan korupsi di Indonesia. Tradisi pemberian hadiah, ucapan terima kasih yang sudah menjadi budaya rakyat Indonesia mengakibatkan semakin suburnya budaya korupsi di Indonesia. Hal ini dapat dlihat dari kasus Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho “memberikan penyuapan kepada para birokrasi di Pemprov Sumut, Hakim PTUN, DPRD Sumut dan beberapa instansi lainnya”. Korupsi di lingkungan birokrasi saat ini dianggap sudah membudaya dan menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari praktek kehidupan masyarakat sehari-hari. Berikutnya faktor mentalitas, Sikap mental pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara yang tidak halal, tidak ada kesadaran bernegara serta pudarnya idealisme, dapat menimbulkan kebocoran-kebocoran keuangan yang membawa akibat mempermudah orang melakukan korupsi. Realita seperti ini banyak terjadi di instansi-instansi yang menangani masalah perpanjangan izin kendaraan bermotor. Pungli-pungli liar dan para calo-calo membantu perkembangan korupsi di tubuh birokrasi.

            Menurut Lord Acton (1834-1902) mengatakan : “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”, terjadinya korupsi tidak dapat dipungkiri dengan "kesempatan dan jabatan/kekuasaan" sebagai sumber utama dari korupsi. Semua orang yang mempunyai kedua faktor tersebut akan cenderung menyalahgunakan jabatan dan menggunakan kesempatan untuk memperkaya diri sendiri.


Etika

Dalam kaitannya dengan etika, moral, akhlak serta tingkah laku, dan baik buruknya suatu perbuatan dilihat dari ketentuan hukum yang berlaku di masyarakat. Kaitannya dengan sosok pejabat publik atau penyelenggara negara akan menggambarkan sejauh mana kualitas mental dan moral pejabat tersebut. Perilaku korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan segudang perilaku lainnya yang masyarakat tidak percaya dapat dikategorikan sebagai hilangnya nilai-nilai etika yang seharusnya dijunjung tinggi oleh pejabat publik. Jika hal tersebut telah menjadi sebuah kultur, maka tentu akan sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu bangsa, dimana maju tidaknya bangsa tersebut tergantung pada kyalitas mental, moral dan kemampuan pemimpinnya.

Satu hal yang sangat penting untuk diaplikasikan dalam menangani maraknya tindakan korupsi di lingkungan birokrasi, dengan menerapkan konsep “etika administrasi” dalam lingkungan birokrasi. Etika administrasi merupakan sikap yang jujur dalam menjalankan fungsi sesuai aturan institusi, dari tidak adanya intervensi politik, pengusaha dan lainnya. Menurut Immanuel Kant (1980), “etika berusaha menggugah kesadaran manusia untuk bertindak secara otonom dan bukan secara heteronom”. Rendahnya etika para birokrat terjadi karena rendahnya pemahaman dari norma–norma umum yang sangat mendasar. Sehubungan dengan korupsi, etika kemudian lahir sebagai alat kontrol dalam menjalankan administrasi.

Hal ini dikarenakan ada seperangkat nilai yang kemudian diyakini, bahkan diamanahkan kepada pemerintah untuk dipegang teguh dalam setiap tingkah laku administrasi. Jika etika yang kemudian dilembagakan dalam kode etik dipegang dengan teguh, maka penyimpangan seperti korupsi tidak akan terjadi.

Reformasi Birokrasi

Permasalahan yang berkaitan dengan reformasi birokrasi pasca era reformasi seperti tidak tersentuh sama sekali. Hal ini menjadi tanda tanya setelah pergantian rezim dari orde baru ke reformasi tidak memberikan pengaruh apapun. malah semakin parah dari rezim sebelumnya. Reformasi hanya dipandang sebagai pergantian kepemimpinan dalam rangka melegitimasikan Soeharto sebagai presiden, hingga sekarang sudah lima kali pergantian presiden namun reformasi birokrasi tidak menunjukan tanda-tanda perubahan berarti.

Menurut Mark Turner, kesulitan mereformasi birokrasi di negara-negara Asia disebabkan oleh budaya “patronase” yang sangat kuat. Patronase adalah semangat perkawanan di mana individu yang memiliki status sosio-ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumberdayanya untuk melindungi dan memberi keuntungan bagi yang berkedudukan lebih rendah (client), sementara sang client pada gilirannya memberi dukungan dan bantuan termasuk pelayanan personal bagi sang patron (Turner, 2013: 277)

            Masa pemerintahan Jokowi ingin membangun birokrasi yang bersih, pelayanan publik yang cepat dengan konsep “revolusi mental” dan “nawacita”. Menurut Yuddy Chrisnandy (Menteri PAN-RB), konsep revolusi mental  yang diterapkan oleh Pak Jokowi  adalah perubahan paradigma, mindset, atau budaya politik dalam rangka nation building sesuai dengan cita-cita Proklamasi Indonesia merdeka, adil dan makmur. Sedangkan konsep dari nawacita, membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan nyang bersih, efektif, demokratis, dan terpecaya.

            Penulis berharap pada masa pemeintahan Jokowi-Jk sasaran revolusi mental dalam konteks birokasi merupakan wujudnya perubahan “radikal positif” atas mind-set dan culture-set, kapabilitas, perilaku, dan gaya aparatur birokrasi. Aparatur birokrasi harus bersih, kompeten, bekerja efektif dan efisien, serta bermental, bergaya sebagai pelayanan publik, bukan sebagai priyayi yang minta dilayani.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar