Mengapa Harus
Tito
Oleh: Dedy
Syhaputra
Belakangan
ini, berita seputar pencalonan kepala kepolisian Indonesia menghiasi halaman
rubrik politik hukum hingga menjadi headline
pada beberapa media massa baik cetak maupun elektronik. Sejak adanya pemisahan
Polisi Republik Indonesia (POLRI) dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(ABRI) yang dilakukan pada tahun 1999, menjadi tonggak baru pembentukan
institusi kepolisian yang profesional dan modern. Posisi POLRI tidak lagi
dibawah militer dan sejak saat itu POLRI memainkan peranan penting dalam
hubungan dengan masyarakat sipil baik secara vertikal dan horizontal.
Mengakhiri spekulasi,
pertengahan Juni Presiden Joko Widodo mengusulkan Komisaris Jenderal Tito
Karnavian sebagai calon Kepala Polri menggantikan . Jenderal (Pol) Badrodin
Haiti yang akan memasuki masa pensiun pada Juli 2016. Pertimbangan Presiden dalam memilih Tito Karnavian adalah untuk
meningkatkan profesionalisme Polri sebagai pengayom masyarakat, terutama terhadap kejahatan luar biasa seperti
terorisme, narkoba maupun korupsi sekaligus juga meningkatkan sinergi dengan
penegak hukum lain.(Kompas, 16 Juni 2016)
Menurut Prof. Tjipta Lesmana, Langkah
Jokowi bisa disebut gambling karena memilih Tito sangat berisiko, karena
bagaimanapun senioritas tetap menjadi bagian sistem dan tradisi yang melekat di
Polri. Secara tidak langsung pemilihan Tito yang melampaui lima generasi juga
”membusukkan” karier dan ”kebanggaan” para perwira yang berada di lifting
lebih senior. Padahal, mereka belum tentu kalah prestasi. Faktanya, seperti
disampaikan Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S Pane, dari 265
jenderal yang ada Jokowi hanya mengenal Tito.
Ekses dari anomali sistem dan tradisi
yang dilakukan secara ekstrem dan terkesan penganakemasan terhadap satu orang
perwira tentu akan menimbulkan guncangan. Bisa-bisa Tito malah teralienasi dari
arus besar internal Polri yang tidak menganggap atau tidak menerima
kepemimpinannya. Hal ini mungkin terjadi lantaran bagi mereka patuh atau tidak
sama saja risikonya karena karier mereka sudah busuk dengan sendirinya. Namun,
apakah langkah dan prosedur pemilihan calon Kapolri oleh Presiden akan terjadi
sama seperti tahun lalu ?
Hak Prerogatif
Dalam
prakteknya, kekuasaan Presiden RI sebagai kepala negara sering disebut dengan
istilah “hak prerogatif Presiden” dan diartikan sebagai kekuasaan mutlak
Presiden yang tidak dapat diganggu oleh pihak lain. Secara teoritis, hak
prerogatif diterjemahkan sebagai hak istimewa yang dimiliki oleh
lembaga-lembaga tertentu yang bersifat mandiri dan mutlak dalam arti tidak
dapat digugat oleh lembaga negara yang lain. Dalam sistem pemerintahan
negara-negara modern, hak ini dimiliki oleh kepala negara baik raja ataupun
presiden dan kepala pemerintahan dalam bidang-bidang tertentu yang dinyatakan
dalam konstitusi.
Konsep
diatas menjelaskan bahwa Presiden memiliki peranan istimewa( prerogatif) yang
penting dalam menetukan calon Petinggi Polri, jika kita lihat dari angkatan Tito
masuk Akademi Polisi yang masih junior dengan para senoirnya seperti Wakil
Kepala Polri Komjen Pol Budi Gunawan angkatan 1983, Irwasum Polri Komjen Pol
Dwi Priyatno angkatan 1982, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Pol
Budi Waseso angkatan 1984, Kalemdikpol Komjen Pol Syafrudin angkatan angkatan
1985 dan Kabareskrim Polri Komjen Pol Ari Dono Sukmanto angkatan 1985 Penunjukkan
Komisaris Jenderal Tito Karnavian sebagai calon Kapolri merupakan wewenang dari
konstitusi UU.
Tito
Irjen. Pol. Drs. H.M. Tito Karnavian, M.A., Ph.D. atau yang
sering dipanggil Tito adalah sosok petinggi polisi muda berbintang tiga yang
fenomenal di Polri.Nama Tito dikenal oleh masyarakat sejak beliau berhasil memimpin
Tim Kobra dalam menangkap Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, putra
(mantan) Presiden Soeharto dalam kasus pembunuhan Hakim agung tahun 2001.
Kemampuan intelektual itu yang lalu membawanya meroket. Dalam lingkungan
seperti itulah, kemampuan akademik level Phd yang disandang Tito lalu dipertaruhkan
untuk menjadikan Polri sebagai learning
organization.
Sebutan
itu menunjuk kualitas Polri yang mampu terus berubah seiring dengan perubahan
di sekelilingnya atau bahkan dalam dirinya. Selian itu, Hebatnya Tito
Karnavian, lulus di beberapa Universitas besar tanah air yang menjadi favorit
hingga saat ini, seperti, lulus ujian Perintis untuk fakultas Kedokteran
di Universitas Sriwijaya, Hubungan Internasional di Universitas Gadjah Mada,
dan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, serta Akademi Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia.
Namun yang dipilihnya saat itu adalah
Akabri. Tito Karnavian lulus dari Akabri tahun 1987 dan menjadi Lulusan
terbaik saat itu dan mendapat bintang Adhi Makayasa. Tito kemudian melanjutkan
pendidikan tingginya di Universitas Exeter, Inggris tahun 1993 dan meraih
gelar MA dalam bidang Police Studies. Tito Karnavian melanjutkan kembali
pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) di Jakarta tahun 1996 dan
meraih Strata 1 dalam bidang “Police Studies”
Tak berhenti disitu,. Gelarnya
yang panjang di dapat dari beberapa universitas, seperti dari Massey
University Auckland di Selandia Baru tahun 1998 dalam bidang Strategic Studies,
dan mengikuti pendidikan di Rajaratnam School of International Studies, Nanyang
Technological University, Singapura, tahun 2008 sebagai kandidat PhD dalam
bidang Strategic Studies. Maret 2013 ia menyelesaikan PhDnya dengan nilai excellent. Tito
kembali menjadi polisi yang mendapat kenaikan pangkat luar biasa saat tergabung
dalam tim Densus 88 Antiteror, yang melumpuhkan teroris Azahari Husin dan
kelompoknya di Batu, Malang, Jawa Timur, 9 November 2005.
Pangkat Tito naik menjadi Kombes
Pol.Densus 88 Antiteror juga berhasil menangkap puluhan tersangka yang masuk
dalam DPO di Kecamatan Poso Kota, 2 Januari 2007. Tito dan sejumlah perwira
Polri lainnya juga sukses membongkar konflik Poso dan meringkus orang-orang
yang terlibat di balik konflik tersebut. Tito pun termasuk perwira yang
bergabung dalam tim penumpasan jaringan terorisme pimpinan Noordin Mohammad Top
tahun 2009. Selain itu, Tito mendapatkan banyak penugasan untuk pergi ke
berbagai belahan dunia dari Asia, Amerika hingga Eropa.
Tantangan Tito
MenkoPolHukam
Luhut Binsar Panjaitan mengatakan bahwa Tito harus memiliki moralitas,
profesionalisme sebagai seorang polisi dalam menyelesaikan masalah- masalah
yang berkembang sekarang ini diantaranya, Memastikan kondisi darurat
kejahatan asusila terhadap anak dan perempuan berakir. Kejahatan kekerasan asusila menduduki
peringkat kedua tahun ini. Kasusnya makin mengenaskan, dan menimpa anak-anak.
Debat mengenai apa penyebabnyamasih berlangsung.
Satu hal yang diharapkan melakukan perannya dengan benar
adalah polisi, baik dalam menangani korban dengan empati maupun
penuntasan kasus dan penuntutan dengan pasal yang memberikan hukuman berat. Mencegah, melindungi dan menghukum tindakan anarkistis terhadap kelompok
minoritas dengan moto polisi sebagai
pelindungi, pengayom dan melayani.
penanganan terorisme
termasuk program deradikalisasi yang menjadi salah satu keberhasilan Polri.
Bisa dikatakan penanganan kasus-kasus terorisme yang
membuat Tito menonjol dalam tahun-tahun terakhir. Dia tidak hanya mumpuni
memahami peta jaringan teroris di tanah air, dan bahkan terlibat dalam operasi
lapangan. Tito juga mendalami peta jejaring terorisme kawasan dan global. Pola
komunikasi makin canggih, termasuk memanfaatkan media sosial.
Meskipun pekerjaan rumah besar menangkap
Santoso yang bersembunyi di Poso belum sukses,
kemampuan polisi Indonesia menangkap teroris diakui dunia internasional.
Penanganan terduga teroris masih menuai kritik, begitu juga program
deradikalisasi. Masih ada kerja besar yang juga menunggu Tito,
termasuk pengamanan pemilihan kepala daerah serentak pada Februari 2017.
Besarnya ekspektasi publik atas dipilihnya Tito sebagai calon kapolri tergambar
dari tiga trending topic di Twitter pada Rabu, 15 Juni, saat
informasi pencalonannya diumumkan media. Apakah Tito Karnavian
bisa memenuhi harapan itu?***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar